anda pengunjung ke

Monday, April 24, 2017

SLAMET MULJANA

PROF. DR. SLAMET MULJANA & KONTROVERSI SEJARAH
“Kenyataan historis kadang-kadang terlalu pahit untuk ditelan dan terlalu pedas untuk dirasakan. Namun, sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta itu tidak akan dapat diubah. Meskipun fakta sejarah itu mungkin terlalu pedas untuk dirasakan, ilmu sejarah tetap mengejar-ngejarnya.” (Slamet Muljana, 1968).
Slamet Muljana menulis kalimat itu ketika mengantar bukunya, “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” (Penerbit Bhratara, Jakarta, 1968). Apa boleh buat, tiga tahun kemudian, 1971, ternyata buku ini dibredel, ditarik, oleh Kejaksaan Agung dengan alasan buku terlarang karena isinya kontroversial, bisa mengganggu stabilitas politik, dan meresahkan masyarakat.
---------------------------------------
SIAPA SLAMET MULJANA
Slamet Muljana lahir di Yogyakarta 21 Maret 1921 (beberapa informasi menyebutkan ia lahir tahun 1929, tetapi ini meragukan). Gelar B.A. diraihnya dari Universitas Gadjah Mada pada 1950, M.A. dari Universitas Indonesia pada 1952, dan gelar doktor dalam bidang sejarah dan filologi (ilmu naskah kuno) dari Universitas Louvain, Belgia pada tahun 1954.
Filologi adalah studi tentang teks-teks sastra dan catatan tertulis, penetapan dari keotentikannya dan keaslian dari pembentukannya dan penentuan maknanya. Filologi juga merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, biasanya dari zaman kuno (Wikipedia, 2014).
Sejak 1958, Slamet Muljana telah menjadi profesor pada Universitas Indonesia. Pekerjaan utamanya adalah dosen dan peneliti, baik di dalam maupun luar negeri, serta pernah menjadi direktur lembaga bahasa dan kebudayaan dan anggota dewan kurator lembaga studi-studi Asia Tenggara.
Slamet Muljana menulis artikel dan buku. Artikel-artikelnya dipublikasi di jurnal dalam dan luar negeri. Sebanyak 18 buku telah ditulisnya. Dari karya-karyanya, boleh dibilang Slamet Muljana telah meneliti dan menulis sejarah dari tahun 400 M (buku “Dari Holotan ke Jayakarta”) sampai tahun 1945 (buku “Kesadaran Nasional-dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan).
Pernah banyak disebutkan bahwa hidup Slamet Muljana adalah untuk Majapahit. Beralasan menyebutnya begitu sebab hampir setengah dari semua buku yang ditulisnya adalah untuk Majapahit. Buku pertamannya tentang Majapahit (“Nagarakrtagama” - 1953), buku terakhirnya pun, yang ditulis tiga tahun sebelum Slamet Muljana meninggal, juga tentang Majapahit (“Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” -1983). Maka boleh disebut lebih dari setengah usia hidupnya dicurahkan untuk Majapahit.
Slamet Muljana selain dikenal sebagai ahli sejarah, ia juga adalah seorang ahli bahasa, menulis beberapa buku tentang kaidah dan politik bahasa Indonesia, juga perbandingan bahasa-bahasa Asia Tenggara. (misalnya buku “Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara” -Balai Pustaka, 1964).
2 Juni 1986 di Jakarta, Slamet Muljana meninggal. Beberapa bukunya diterbitkan kembali oleh Penerbit PT LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta sejak tahun 2005. Kalau tak diterbitkan kembali, mungkin susah mencari buku-bukunya lagi, apalagi bukunya yang dibredel itu. Kini bukunya yang dibredel itu diterbitkan kembali.
Slamet Muljana juga dikenal sebagai peneliti dan penulis sejarah yang tidak jarang menyebabkan kontroversi karena beberapa karyanya yang memuat kesimpulan-kesimpulan mencengangkan yang berbeda dengan pengetahuan pada umumnya. Dan Slamet Muljana berani mengemukakannya secara terbuka baik melalui artikel-artikelnya di surat kabar, majalah, maupun buku. Tidak jarang pula ia berdebat dengan para ahli sejarah lainnya.
Saya memiliki beberapa buku karya Slamet Muljana, termasuk yang kontroversial, yang akan saya ceritakan lebih jauh berikut ini.
KONTROVERSI ASAL PARA WALI SONGO
Kontroversi Slamet Muljana yang paling terkenal dan menimbulkan reaksi keras muncul dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” (1968). Slamet Muljana sudah menduga dari awal bahwa bukunya ini akan menimbulkan kontroversi, maka ia menulis dalam kata pengantar buku ini seperti yang saya kutip membuka artikel ini.
Di buku ini, Slamet Muljana mengemukakan bahwa berdasarkan penelitiannya atas beberapa naskah yang selama ini jarang dirujuk oleh ahli lainnya (Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, naskah kuno dari Kelenteng Sam Po Kong), bahwa sebagian Wali Songo itu berasal dari Cina, atau Tionghoa peranakan.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari pembentukan masyrakat Tionghoa Islam pertama di Nusantara yang dibentuk Cheng Ho di Palembang pada tahun 1407 setelah Palembang dibebaskan dari kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan perampok-perampok Hokkian. Raden Patah, seorang peranakan Tionghoa bernama Jin Bun dengan ibu Putri Cina (wanita peranakan) dan ayah Prabu Brawijaya V (Kertabhumi – raja terakhir Majapahit) lahir di Palembang pada 1455, didik secara Islam, dan datang ke Jawa pada 1474.
Di Jawa, dengan bantuan para Wali Songo yang sebagian juga datang dari Cina atau peranakan Tionghoa, Jin Bun mendirikan Kerajaan Demak, kemudian akhirnya menyerang dan meruntuhkan Majapahit pada 1478 yang sedang diperintah oleh ayahnya sendiri, Kertabhumi. Sejak itu pupuslah kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha di Jawa yang sudah ada sejak tahun 400 M, digantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Beberapa Wali Songo yang berdarah Cina atau Tionghoa peranakan yang membantu Raden Patah meruntuhkan Majapahit dan menyebarkan agama Islam di Jawa adalah:
1. Bong Swi Hoo/ Raden Rahmat/ Sunan Ampel, asal Yunan yang datang ke Jawa pada 1445 dan membentuk masyarakat Islam Jawa di Ampel,
2. Gan Si Cang/Raden Said/ Sunan Kalijaga, asal seorang kapten kapal Cina di Semarang,
3. Toh A Bo/ Syarif Hidayatullah/ Sunan Gunung Jati, anak Sultan Trenggana (Tung Ka Lo), raja Demak, yang merupakan panglima tentara Demak,
4. Dja Tik Su/ Jafar Sadik/Sunan Kudus,
5. Sunan Bonang, putra Sunan Ampel, peranakan Tionghoa tidak bisa berbahasa Tionghoa
6. Sunan Giri, murid Sunan Ampel, peranakan Tionghoa tidak bisa berbahasa Tionghoa
Di samping itu, dikatakan pula bahwa Kerajaan Demak sendiri berturut-turut diperintah oleh raja-raja beretnis Cina: Jin Bun (Raden Patah, 1478-1518), Yat Sun (Adipati Unus, 1518-1521), Tung Ka Lo (Trenggana, 1521-1546), Muk Ming (Sunan Prawata, 1546).
Pendapat Slamet Muljana ini menimbulkan reaksi yang keras baik di masyarakat maupun Pemerintah. Masyarakat selama itu berpendapat bahwa para Wali Songo berasal dari Arab/Hadramaut/Yaman, bukan dari Cina. Pada saat buku ini terbit (1968) saat itu tengah ada sentimen anti-Cina terkait dengan Gerakan 30 September yang diduga disokong oleh Pemerintah Cina. Dengan alasan itu pulalah buku ini dibredel – alasan politis.
Apakah benar atau tidak yang ditulis Slamet Muljana? Para ahli sejarah yang harus membuktikannya sebab buku Slamet Muljana ini belum ada lawannya. Tetapi beberapa fakta menunjukkan bahwa sinyalemen Slamet Muljana mungkin saja benar, misalnya bahwa Raden Patah memang merupakan putra Kertabhumi dengan seorang Putri Cina, sehingga Raden Patah punya darah Cina di samping Jawa.
Semua versi yang ada mengatakan bahwa asal Raden Patah berhubungan dengan Cina.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Selir Cina ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat).Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina itu adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong (alias Kyai Batong). Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun (orang kuat artinya, atau Al Fatah – pemenang dalam bahasa Arab), putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi alias Brawijaya V) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Cina. Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?), putra (atau bawahan) mantan perdana menteri Cina (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur. Meskipun terdapat berbagai versi, namun diceritakan bahwa pendiri Demak ini emang memiliki hubungan dengan Majapahit, Cina, Gresik, dan Palembang.
Fakta lain adalah bahwa Sunan Ampel, yang berputra Sunan Bonang, juga punya darah Campa/Cina selatan sebab menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Campa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Campa Terakhir Dari Dinasti Ming. Campa lebih dulu menjadi daerah beragama Islam daripada Jawa. Pada abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini telah membawa pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Campa, yang baru terjadi di Jawa 500 tahun kemudian.
Apakah pendapat Slamet Muljana benar atau salah? Sulit menjawabnya. Yang harus dilakukan adalah menggali kembali sumber-sumber sejarah dari mana Slamet Muljana menurunkan kesimpulan-kesimpulannya.
KONTROVERSI FALATEHAN, FATAHILLAH, DAN SUNAN GUNUNG JATI
Pengetahuan umum mengatakan bahwa Falatehan, Fatahillah atau Sunan Gunung Jati itu adalah orang yang sama. Buku Dennys Lombard yang terkenal itu tentang sejarah Jawa (Le Carrefour de Javanais -Jawa: Silang Budaya) juga menyebutkan bahwa Falatehan = Fatahillah = Sunan Gunung Jati.
Namun Slamet Muljana dalam bukunya, “Dari Holotan ke Jayakarta” (1980) mengeluarkan kesimpulan yang mengejutkan : bahwa Falatehan/Fatahillah itu tidak sama dengan Sunan Gunung Jati, itu adalah dua orang yang berbeda. Dalam bukunya tentang masa akhir Majapahit di atas (1968), Slamet Muljana masih menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayat Fatahillah, tetapi di buku Holotan (1980), Slamet Muljana mengoreksinya.
Bahwa Falatehan atau Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati didasarkan Slamet Muljana (1980) atas penelitian naskah Purwaka Tjaruban Nagari tulisan Pangeran Arya Tjarbon (1720). Ini adalah naskah sejarah (babad) lokal wilayah Cirebon. Naskah ini sudah diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Indonesia oleh Sulendraningrat, penanggung jawab Sejarah Cirebon, dan diterbitkan oleh Bhratara (1972).
Naskah Purwaka Caruban Nagari menguraikan dengan jelas bahwa Panglima Demak yang berasal dari Pasai dan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kalapa pada tahun 1526 dan 1527 bernama Fadillah Khan. Slamet Muljana mengatakan bahwa Falatehan ialah transliterasi (pergantian huruf dan bunyi) dari nama asli Fadillah Khan. Nama aslinya adalah : Maulana Fadillah Khan Ibnu Maulana Makhdar Ibrahim al-Gujarat. Kemudian, naskah Purwaka Caruban Nagari pun sama sekali tak menyinggung pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta seperti diberitakan di banyak buku sejarah ketika Falatehan menduduki Sunda Kalapa dan mengusir Portugis. Nama Sunda Kalapa tetap dipakai sampai akhir tahun 1500-an. Tahun 1628, ketika pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia yang saat itu sudah diduduki Belanda (nama Batavia dipakai sejak tahun 1613), naskah Purwaka telah menyebutnya sebagai Jayakarta. Artinya ada pergantian nama dari Sunda Kalapa ke Jayakarta, tetapi itu terjadi sekitar akhir 1500-an dan awal 1600-an, bukan sejak 1527 seperti selama ini diketahui.
Slamet Muljana pun berargumen bahwa Falatehan itu adalah ulama sekaligus panglima perang Islam yang pernah hidup di Pasai , Demak, dan Banten sebelum ke Sunda Kalapa. Bagi ulama Islam seperti Fadillah Khan, nama Arab lebih cocok daripada nama Sanskerta. Seandainya ia mau mengganti nama Sunda Kalapa saat didudukinya, tak mungkin nama Sanskerta yang berbau Hindu seperti Jayakarta yang akan dipilihnya. Setelah menaklukkan Sunda Kalapa, Falatehan diangkat menjadi bupati Sunda Kalapa oleh Susuhunan Gunung Jati (Sunan Gunung Jati).
Falatehan/Fatahillah dan Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayattullah adalah dua orang yang berbeda. Kedua orang ini memang dua sahabat sebagai sesama ulama Islam.
Di atas Gunung Sembung, sebuah bukit di sekitar Cirebon, tempat makam para leluhur Cirebon, ditemukan makam Sunan Gunung Jati, sementara makam Fadillah Khan ada di Gunung Jati. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568, sedangkan Fadillah Khan (Falatehan/Fatahillah) wafat pada tahun 1570.
Demikian kontroversi soal Falatehan/Fatahillah dan Sunan Gunung Jati.
KONTROVERSI KELAHIRAN KOTA JAKARTA
22 Juni adalah hari ulang tahun kota Jakarta. Tanggal tersebut ditentukan sejak tahun 1956 ketika hasil penelitian Mr. Dr. Soekanto, ahli sejarah, diterima Pemerintah dan badan legislatif saat itu. Gubernur Jakarta Sudiro pada tahun 1954 meminta Mr. Mohammad Yamin (negarawan dan ahli hukum), Sudarjo Tjokrosiswono (wartawan senior Jakarta), dan Mr. Dr. Soekanto (ahli hukum dan sejarah) meneliti kapan sebenarnya kota Jakarta lahir.
Tahun 1527, tahun saat Fatahillah mengalahkan Portugis di Teluk Jakarta telah dianggap sebagai asal kata Jakarta (Jayakarta saat itu), maka jadilah hari lahir Jakarta: 22 Juni 1527. Soekanto mempublikasikan hasil penelitiannya ke dalam buku berjudul, “Dari Jakarta ke Jayakarta : Sejarah Ibukota Kita” (Soekanto, 1954).
Hasil penelitian Sukanto segera direspon oleh para ahli sejarah lain. Yang merespon saat itu adalah antara lain tak kurang dari Prof. Dr. Hoesin Djajadiningrat, doktor pertama Indonesia, yang sejak 1913 telah menjadi doktor sejarah melalui disertasinya yang terkenal tentang sejarah Banten : Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten (Haarlem, 1913) (Tinjauan Kritis Sejarah Banten). Argumen Hoesin Djajadiningrat atas penelitian Soekanto dimuat di Majalah Bahasa dan Budaja volume V no. 3 tahun 1956-1957, hal 3-9. Hoesin Djajadiningrat berkesimpulan bahwa hari lahir kota Jakarta (Jayakarta) adalah 17 Desember 1526. Argumennya adalah bahwa hari itu adalah hari kemenangan Falatehan (Fatahillah) di Jakarta atas Portugis yang konon bertepatan dengan hari kemenangan Nabi Muhammad dalam perang merebut Mekkah. Falatehan adalah seorang ulama yang tawakal, maka sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah, konon ia mengucapkan ayat Al Quran ”Inna fatahna laka fathan mubinan” seperti yang diucapkan Nabi Muhammad ketika berhasil merebut Mekkah.
Namun lebih menarik lagi adalah pendapat yang diajukan Prof. Dr. Slamet Muljana, yang muncul dalam rangkaian tulisan ilmiah populer di Koran Suara Karya pada April-Mei 1979. Kemudian, seri tulisan ini dibukukan ke dalam buku berjudul : ”Dari Holotan ke Jayakarta” (Yayasan Idayu, 1980). Slamet Muljana berargumen dan menolak tanggal-tanggal kelahiran Jakarta dari Soekanto maupun Hoesin Djajadiningrat. Menurut Slamet Muljana, nama Jakarta itu bukan nama yang diberikan oleh Fatahillah atau Falatehan saat memenangkan Sunda Kalapa. Nama Jakarta itu berasal dari Piagam Banten yang bertarikh awal 1600-an., sesudah 1602, yaitu sesudah VOC dibentuk sebab di dalam Piagam Banten itu termuat satu kata bukan asli Sunda-Banten. Dr. van der Tuuk (1870), ahli bahasa dan sejarah, menyebutkan pemuatan kata “Jakarta” di piagam itu. Ini adalah kutipan dari Piagam Banten (van der Tuuk, 1870):
“Lamon ana wong Djaketra angambil daon atawa kaju atawa angambil wiru, iku aweja ruba-ruba adjen-adjen sarejal; lamon sih wong Djaketra iku ora anggawa tjap dalem lan surate kumendur, iku tjegahen patjuwun den wehi mandjing ing muwara Putih; lamon maksa ora kena den tjegah, den gelis-gelis matura ing Bumi olija den sih” – yang artinya:
“Jika ada orang Jakarta mengambil daun, atau kayu atau nipah, supaya memberikan uang pengganti. Jika orang Jakarta itu tidak membawa cap istana dan surat dari komandan, supaya ditolak dan dimasukkan ke dalam muara sungai Putih. Jika ia memaksa dan tidak mau ditolak, supaya segera memberitahu Mangku Bumi”.
Laporan Cornelis de Houtman (dalam de Jonge, 1862 : De opkomst van het Nederlandsche gezag in Oost-Indie 1595-1610 ’s Gravenhage) pada tanggal 14 November 1596 menyebut nama Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta) sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta). Ternyata, bahwa nama Jakarta sudah muncul sejak akhir 1500-an. Bukan nama Jayakarta.
Falatehan sebagai panglima dan ulama Islam saat memenangkan Sunda Kalapa tak mungkin menggunakan nama Sanskerta “Jayakarta” untuk mengganti namanya sebab nama Jayakarta berbau nama Hindu, begitu argumen Slamet Muljana.
Menurut Slamet Muljana, tahun kelahiran Jakarta bukanlah 1527, tetapi 50 atau 60 tahun sesudah itu; bukan mulai pada saat Falatehan menduduki Sunda Kalapa (Sunda Kalapa kala itu adalah pelabuhan Kerajaan Pakuan yang beragama Hindu) pada tahun 1527, tetapi pada masa Pangeran Jayakarta menjadi bupati di Sunda Kalapa, yaitu sesudah tahun 1570.