anda pengunjung ke

Wednesday, January 2, 2013

CONDRO SENGKOLO

Pada jaman dahulu masyarakat jawa menggunakan Sengkalan dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai contoh pada setiap bangunan rumah, pintu gerbang, kuburan, gapura, tugu, dan bangunan-bangunan lainnya. Selain itu pada karya-karya sastra jawa, benda-benda bersejarah, karya seni, lambang/seimbol suatu kota, lembaga atau organisasi, surat-surat jaman dahulu juga menggunakan Sengkalan untuk menyatakan kala atau waktu tahun penulisannya.
Sengkalan juga sering digunakan sebagai peringatan peristiwa-peritiwa penting yang terjadi disuatu masa yang dapat bermakna sebagai penggambaran terhadap kondisi politik, sosial, atau juga bermakna do’a harapan, peringatan kelahiran seseorang, kematian seseorang dan sebagainya. Misalkan pada masa masa akhir Kerajaan Majapahit ditandai dengan Candrasengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi yang menggambarkan runtuhnya Kerajaan besar tersebut pada tahun 1400 Saka. Kemudian juga pada Menara Kudus tertulis Candrasengkala Gapura Rusak Ewahing Jagad yang menggambarkan kondisi sosial-politik Kerajaan Demak yang kacau ketika itu yaitu tahun 1609.
Untuk Sengkalan yang bermakna do’a atau harapan sebenarnya sangat sedikit sekali ditemukan, sebagai contoh adalah Suryasengkala Dresthi Sirna Nir Sikara yang mengandung makna do’a atau harapan agar segala bentuk penghianatan terhadap bangsa Indonesia ini hilang dan hilang pula campur tangan asing yang turut serta menyusup dan menyebabkan kesengsaraan rakyat. Suryasengkala tersebut tertulis dalam suatu syair penutup Sekar Pucung di dalam Serat Kamardikan yang selesai ditulis pada tahun 2002 oleh Ciptawidyaka. Dresthi Sirna Nir Sikara menunjukkan angka tahun Masehi 2002. Sedangkan contoh lainnya adalah Candrasengkala Sangsaya Luhur Salira Kang Aji menyatakan tahun 1805 Saka/Jawa yang merupakan ucapan selamat datang yang disampaikan oleh Sri Paduka Mangkunegoro IV kepada Sampeyan Dalem Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX. Selain itu juga terdapat pula Candrasengkala Muji Dadya Angesti Sang Prabu menyatakan tahun 1847 yang merupakan tahun penulisan surat balasan KPH Kusumayuda kepada Sampeyan Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Paku Buwana X.
Sebenarnya pada masa sekarang penggunaan Sengkalan dapat sangat luas lagi pemaknaannya, seperti sindiran-sindriran yang bermakna positif kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat agar tetap konsisten terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat penyalur aspirasi rakyat untuk mensejahterakan kehidupan bangsa. Misalkan Sengkalan yang saya buat untuk tahun ini 1945 Saka/Jawa, 1433 Hijriyah dan 2012 Masehi yang bermakna do’a dan harapan. Untuk tahun Jawa Candrasengkalanya adalah Marganing Karta Trus dening Sujanma yang bermakna “sebab/jalannya kemakmuran kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi oleh orang-orang baik dan berpendidikan dalam hal ini adalah pemerintah dan wakil-wakil rakyat”. Tentu ini saya tujukan untuk mengigatkan pemerintah dan wakil-wakil rakyat bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi manakala pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang berpendidikan tersebut menjadi orang-orang yang baik yakni memiliki sifat jujur dan memihak kepentingan rakyat. Sedangkan Candrasengkala tahun 1433 Hijriyahnya dapat dibuat Katon Murub Kartaning Negara yang bermakna “tampak berkobar kemakmuran dan kesejahteraan negara”. Pesannya adalah setelah beliau-beliau yang duduk di pemerintahan (eksekutif) dan perwakilan rakyat (legislatif) tersebut menjadi orang baik dan menjalankan roda pemerintahan yang jujur dan memihak kepentingan rakyat maka akan tampaklah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang semakin berkobar. Namun bagaimana jika ternyata pemerintah dan wakil-wakil rakyat itu berkhianat? jangan khawatir kita sebagai rakyat masih punya senjata pamungkas yang tanpa tanding yaitu Suryaasengkala 2012 Masehi Sikaraning Gusti Sirnaning Dresthi yang bermakna “campur tangan Tuhan berupa peringatan keras atau azab kepada manusia yang jahat akan menghilangkan pengkhianatan yang dilakukan oleh manusia-manusia jahat tersebut”. Tapi tentu ini adalah sesuatu yang berbahaya, oleh karena itu Suryasengkala ini tidaklah perlu digunakan selama manusia-manusia mau “eling lan waspada” dan berbuat baik kepada sesama manusia. Kita simpan saja sebagai pusaka sakti :) .
Sejarah Candrasengkala
Sejarah Sengkalan ini dimulai sekitar tahun 70-an Masehi atau abad pertama Masehi. Ketika itu seorang Raja dari Negara Surati (sekarang masuk wilayah India) yang bernama Jaka Sengkala atau Aji Saka melarikan diri dari Negaranya akibat kalah perang dan kemudian menetap di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, Aji Saka kemudian bergelar Empu Sengkala. ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Jawa, Aji Saka memperingatinya sebagai tahun 1 Saka yang ditandai dengan kalimat Kunir Awuk Tanpa Dalu (kunyit busuk tanpa malam). Diceritakan Aji Saka kemudian menyebarluaskan ilmu astronomi dalam hal ini adalah perhitungan tahun atau almanak serta berbagai bentuk kesenian. Usaha Aji Saka ini terbukti berhasil dan menjadi terkenal hingga keluar Pulau Jawa yang kemudian banyak orang yang berdatangan ke Pulau Jawa hingga beberapa waktu kemudia Aji Saka pun kembali ke Surati setelah merasa cukup mengajarkan ilmu kepada penduduk Pulau Jawa.
Aji Saka membagi perhitungan tahun menjadi dua macam, yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala yang maknanya seperti yang sudah saya singgung diawal tulisan ini. Suryasengkala dipakai oleh masyarakat jawa kuno sampai akhir Kerajaan Majapahit yaitu antara tahun 700 sampai 1400 Saka atau sekitar tahun 1478 Masehi. Sedangkan Candrasengkala sendiri kemungkinan baru dipakai oleh masyarakat Jawa pada masa setelah Islam masuk ke Pulau Jawa yaitu masa walisongo diakhir Kerajaan Majapahit dan diawal Kerajaan Demak dengan menggunakan tahun Islam, Hijriyah yang berbasis qomariyah atau perhitungan tahun berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi. Pada masa Sultan Agung yang merupakan Raja Mataram Islam, digunakan tahun Saka/Jawa sebagai kalender resmi yang masih dipakai hingga saat ini. Kalender ini merupakan kalender qomariyah yang didasarkan pada perhitungan tahun Hijriyah namun awal tahunnya adalah tahun dimana Aji Saka datang pertama kali di Pulau Jawa dan bukan menurut hijrahnya Nabi Muhammad SAW sebagaimana tahun Hijriyah.
Penggunaan dan Penurunan Kata
Pada awalnya penyusunan kaka-kata yang digunakan dalam Sengkalan berasal dari bahasa Sansekerta. Saat ini penyusunan kata-katanya telah banyak menggunakan bahasa Jawa baru yang diturunkan dari bahasa Sansekerta yang telah banyak mengalami perubahan pada pengucapannya namun watak bilangannya tidaklah berubah dan tetap menggunakan pakem bahasa Sansekerta. Menurut pendapat saya, sebenarnya penggunaan kata-kata dalam Sengkalan juga dapat disesuaikan dengan masa sekarang ini didasarkan pada perkembangan budaya maupun ajaran agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Jawa tanpa meninggalkan pakem watak bilangan. Misalkan karena mayoritas masyarakat Jawa beragama Islam, maka kata-kata Allah SWT atau Gusti Allah dapat disisipkan sebagai kata serapan untuk Sengkalan. Contoh kata yang lain adalah Wali dari kata waliyyullah atau kekasih Allah SWT yang merupakan ulama tingkat tinggi yang dalam konteks Sengkalan ini sepadan dengan Barahmana. Atau juga kata pandhita bisa juga diganti dengan kata Kyai, Maulana, Syaikh, Habib dan sebagainya. Namun demikian, ini hanyalah merupakan sebuah pemikiran yang kemudian diusulkan. Saya kira kata-kata dari bahasa Arab bisa dimasukkan dalam susunan kata-kata untuk menyusun Sengkalan berdasarkan konsep kata-kata sepadan (Guru Dasanama), sejenis (Guru Warga), sekerja (Guru Karya), sealat (Guru Sarana), dan sekeadaan (Guru Darwa) sebagaimana kata Nabi yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab pada masa Walisongo.
Adapun menyinggung masalah penurunan kata yang sempat saya bahas di atas. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam penurunan kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata dalam bahasa Jawa baru atau kata-kata serapan dari berbagai bahasa yang akan kemudian disepadankan dengan bahasa Sansekerta ataupun kata-kata yang telah diturunkan dalam penyusunan Sengkalan. Menurut Raden Bratakesawa, sebagaimana saya kutip dari laporan skripsi saudari Meirissa Ramadhani ada 8 macam, yaitu:
  1. Guru Dasanama atau dasar sepadan yang berarti kata yang sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya seperti: segara(laut), tirta (tirta), bun (embun), dan sebagainya.
  2. Guru Sastra atau dasar penulisan yang berarti kata yang sama penulisannya adalah sama pula wataknya seperti: esthi (berwatak 8) atau asti yang berarti gajah dalam penggunaan Sengkalan esthi yang dimaksud berarti pemikiran, perasaan dan kehendak meski banyak juga Sengkalan yang menggunakan esthi tetap bermakna gajah.
  3. Guru Wanda atau dasar sesuku kata yang berarti kata yang pengucapannya sama adalah sama pula wataknya sehingga kita dapat menambahi, mengurangi, maupun menyisipi suku kata seperti: utawaka menjadi uta karena dikurangi suku katanya. Kemudia kata buja menjadi bujana karena ditambahi suku katanya dan tata menjadi tinata karena disisipi suku katanya.
  4. Guru Warga atau dasar sejenis yang berarti kata yang dianggap sejenis atau sebangsa adalah sama juga wataknya seperti: uta yang berarti lintah menjadi ujel yang berarti belut.
  5. Guru Karya atau dasar sekerja yang berarti cara berlakukanya sebuah kata dianggap sama wataknya dengan apa yang dilakukan sebuah kata tersebut seperti: netra atau mata memiliki eatak yang sama dengan kata mandeng atau melihat karena salah satu yang dilakukan netra atau mata adalah mandeng atau melihat.
  6. Guru Sarana atau sealat yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu adalah sama wataknya dengan sesuatu yang dikerjakan itu seperti: panah adalah alat untuk pancakarna atau berperang adalah memiliki watak yang sama dengan pancakarna itu sendiri atau sama juga dengan kata perang.
  7. Guru Darwa atau sekeadaan yang berarti kata yang memiliki sifat dan keadaan yang sama adalah sama wataknya dengan sifat dan keadaan itu seperti: geni atau api memiliki watak yang sama dengan kata benter yang berarti panas, karena api memiliki sifat atau keadaan panas dan sama pula dengan murub atau berkobar karena api juga memiliki sifat atau keadaan yang berkobar.
  8. Guru Jarwa atau searti yang berarti kata-kata yang memiliki arti sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya meski sebenarnya menyimpang atau berlainan dengan arti yang sebenarnya sperti: rasa adalah sama wataknya dengan rinaras atau serasi.
Demikianlah 8 macam ketentuan untuk menurunkan sebuah kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata dalam bahasa baru atau juga ketentuan penyerapan kata dari bahasa lain yang akan disepadankan dengan kata dari bahasa Sansekerta. Namun demikian kita tidak perlu menggunakan 8 macam ketentuan tersebut untuk mencari kata-kata sebagai dasar penyusunan Sengkalan karena itu adalah wilayah para Pujangga, Empu, Sujanma, Pandhita, Resi, Brahmana dan setaranya. Pada tulisan ini kita cukup menggunakan kata-kata yang sudah baku dan itupun jumlahnya sudah cukup banyak. Menurut Ciptawidyaka berikut adalah contoh kata-kata yang sudah biasa digunakan untuk menyusun Sengkalan.
Watak bilangan 0
Kata-kata yang termasuk watak bilangan 0 adalah kata-kata yang memiliki arti kosong, hilang, habis, langit, dan tidak tampak secara jasmaniyah. Contoh:
Kata sirna berarti hilang atau habis memiliki watak 0 karena kata sirna dan semua padan katanya berarti kosong.
Watak bilangan 1
Kata-kata yang termasuk dalam watak 1 adalah kata-kata yang memiliki arti satu, tunggal, berjumlah satu baik itu Dzat Tuhan, benda, manusia, binatang, dan makhluk hidup lain serta kejadian alam dan sebagainya. Contoh:
Kata Gusti yang berati Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa memiliki watak 1 karena kata Gusti dan semua padan katanya berarti Dzat yang hanya berjumlah satu.
Watak bilangan 2
Kata-kata yang termasuk dalam watak 2 adalah kataa-kata yang memiliki arti dua atau sepasang. Contoh:
Kata asta yang berarti tangan memiliki watak 2 karena tangan manusia berjumlah dua atau sepasang. Demikian juga kata netra yang berarti mata memiliki watak 2 karena mata manusia berjumlah dua atau sepasang. Sedangkan kata Nembah atau menyembah memiliki watak 2 karena ketika seseorang melakukan sembah dalam adat Jawa menggunakan dua tangan.
Watak bilangan 3
Kata-kata yang termasuk dalam watak 3 adalah kata-kata yang memiliki arti tiga atau dalam sifatnya berunsur tiga. Contoh:
Kata Bahni atau geni yang berarti api memiliki watak 3 karena api terjadi karena adanya tiga unsur yaitu: alat pemantik, sarana, dan udara. Pendapat lain tentang api ini adalah karena konon para Brahmana mengklasifikasikan api menjadi tiga macam yaitu: api rumah tangga, api petir, dan api persembahan.
Watak bilangan 4
Kata-kata yang termasuk dalam watak 4 adalah kata-kata yang memiliki arti empa atau berkait dengan segala sesuatu tentang air. Contoh:
Kata segara atau laut dikatakan berwatak 4 karena diyakini bahwa air laut berasal dari tampungan empat jenis/sumber air yaitu: air dari mata air, air bengawan, air pancuran, dan air hujan. Adapun kata air sendiri dikatakan berwatak 4 karena kata air diturunkan dari kata warnna yang berarti kasta, sementara itu kasta dalam keyakinan Hindu berjumlah empat.
Watak bilangan 5
Kata-kata yang termasuk dalam watak 5 adalah kata-kata yang memiliki arti lima atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 5. Contoh:
Kata pandhawa dikatakan berwatak 5 karena jumlah personil dari pandhawa berjumlah lima orang yaitu: Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Watak bilangan 6
Kata-kata yang termasuk dalam watak 6 adalah kata-kata yang memiliki arti enam atau dalam sifatnnya mengandung unsur berjumlah 6 atau juga segala sesuatu yang berkait dengan sifat manis. Contoh:
Kata Anggana atau lebah dikatakan berwatak 6 karena jumlah kaki lebah berjumlah 6.
Watak bilangan 7
Kata-kata yang termasuk watak 7 adalah kata-kata yang memiliki artti tujuh atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 7. Contoh:
Kata resi atau pendeta suci dikatakan memiliki watak 7 karena ada anggapan bahwa pada jaman purwa ada tujuh orang pendeta suci yaitu: Resi Kanwa, Resi Parasurama, Resi Janaka, Resi Wasistha, Resi Carika, Resi Wrahaspati, dan Resi Naraddha.
Watak bilangan 8
Kata-kata yang termasuk dalam watak 8 adalah kata-kata yang memiliki arti delapan atau adalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 8 atau segala sesuatu yang berkait dengan ular. Contoh:
Kata basu dari asal kata wasu dikatakan berwatak 8 karena wasu merupakan sebangsa dewa yang berjumlah delapan personil. Sedangkan Bujangga dikatakan memiliki watak 8 karena seorang bujangga atau pujangga harus memiliki delapan kemampuan yaitu: Paramasastra (kemampuan didalam kesusastraan), Paramakawi (kemampuan didalam bahasa kawi), Mardibasa (kelebihan didalam oleh kata), Mardawalagu (kemampuan dibidang lagu-lagu tembang dan gending), Hawicarita (kepandaian didalam bercerita), Mandraguna (berilmu pengetahuan luas), Nawung Krida (kemampuan mengarang/mengubah suatu karya yang memiliki nilai filosofi tinggi), dan Sambegana (kekuatan daya ingat).
Watak bilangan 9
Kata-kata yang termasuk dalam watak 9 adalah kata-kata yang memiliki arti sembilan atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 9 atau segala sesuatu yang berkaitan dengan belalang. Contoh:
Kata lubang dikatakan berwatak 9 karena dalam tubuh manusia memiliki lubang alami yang berjumlah sembilan yaitu: dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, dan satu lubang kelamin.
Penyusunan kata dalan Candrasengkala
Setelah mengenal kata-kata beserta wataknya, maka kita akan dapat membuat Sengkalan. Namun demikian ada beberapa hal penting yang perlu anda ketahui sebelum menyusun sebuah kalimat Sengkalan, yaitu:
  1. Penggunaan kata-kata harus atau sebisa mungkin menggunakan kata-kata yang sudah baku atau biasa digunakan sesuai dengan watak bilangan yang dikehendaki yaitu seperti yang tercantum pada contoh kata-kata di atas dan tidak perlu lagi mencari kata-kata yang aneh.
  2. Struktur katanya dapat berupa kalimat atau sekadar sususunan kata-kata biasa tanpa membentuk sebuah kalimat.
  3. Makna kalimat atau susunan katanyadapat menggambarakan keadaan tahun yang akan dibuatkan Sengkalan.
  4. Susunan kata atau kalimat dapat berupa berita, pujian, harapan, dan do’a.
  5. Meski susunan kata atau kalimat yang sudah dibuat tidak memiliki makna atau keterkaitan, sebaiknya tidak memiliki pertentangan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun bersangkutan.
  6. Susunan kata atau kalimat didalam Sengkalan menunjukkan susunan angka bilangan tahun secara berturut-turut dari kiri ke kanan dengan susunan sebagai berikut:
  • kata pertama menunjukkan angka satuan dari tahun
  • kata kedua menunjukkan angka puluhan dari tahun
  • kata ketiga menunjukkan angka ratusan dari tahun
  • kata keempat menunjukka angka ribuan dari tahun
Setelah kita memahami ketentuan-ketentuan di atas, maka kita akan dengan mudah membuat Sengkalan untuk tahun yang kita kehendaki. Misalkan dalam tulisan ini saya akan membuat Sengkalan untuk memperingati tahun kelahiran seorang teman saya, yaitu:
  1. Seorang teman saya lahir pada tahun 1977 Masehi, beliau adalah seorang aktivis pengajian yang aktif pada berbagai organisasi Islam pada masa mudanya dahulu. Maka Sengkalan yang cocok dan berkait dengan kegiatan teman saya tersebut adalah Suryasengkala Wasitaning Resi Ambuka Budi, disini kata Wasita berwatak 7, kata Resi berwatak 7, kata Ambuka berwatak 9, dan kata Budi berwatak 1. Adapun makna dari kalimat tersebut adalah “nasihat, petunjuk, dan pelajaran dari seorang ahli agama akan membuka pikiran atau pemikiran” (untuk arti perkatanya dapat anda lihat pada tabel-tabel daftar watak bilangan di atas). Jadi pesan dari Suryasengkala ini adalah jika kita mendengarkan petunjuk, nasihat, dan pelajaran dari ahli agama (alim ulama) Insya Allah akan terbuka pikiran kita dari segala sesuatu hal buruk yang menutupinya, sehingga kita akan dengan mudah memperoleh dan menerima ilmu pengetahuan yang otomatis akan meningkatkan wawasan kita. Maka rajin-rajinlah mengaji.
  2. Sengkalan kedua masih berkait dengan Sengkalan di atas karena ini merupakan versi tahun Hijriyahnya, yaitu 1397. Candrasengkala dari tahun tersebut adalah Sabdaning Jawata Wedaning Urip, dimana kata Sabda berwatak 7, kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3, dan kata Urip berwatak 1. Adapun makna dari Candrasengkala ini adalah “firman-firman Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Jadi pesan dari Candrasengkala ini adalah pelajarilah kitab suci (dalam hal ini Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat firman-firman Allah SWT yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini.
  3. Sengkalan yang kertiga juga masih terkait pada kedua Sengkalan di atasnya, terlebih lagi pada Sengkalan kedua, pasalnya Sengkalan ini juga merupakan versi Hijriyah yaitu tahun 1398. Karena saya tidak tahu persis bulan kelahiran teman saya tersebut dan sementara itu pada tahun 1977 Masehi bertepatan dengan dua tahun Hijriyah yaitu 1397 dan 1398 maka untuk “berjaga-jaga” saya juga membuat Sengkalan versi 1398-nya yaitu Esthining Jawata Wedaning Urip, dimana kata Esthi berwatak 8, kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3,dan kata Urip berwatak 1. Pada Candrasengkala ini memang kalimatnya sengaja saya buat mirip dan pesannya pun sama yaitu “kehendak Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Pesannya adalah sama yaitu pelajarilah kitab suci (Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat kehendak-kehendak Allah SWT atas segala makhluk khususnya manusia yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini.
sumber http://begawanariyanta.wordpress.com

    2 comments:

    Unknown said...

    Halo,
    Salam kenal,
    saya ada koreksi ya. Tapi saya nggak tahu koreksi saya bener atau salah, monggo kalo mau diskusi. Tahun Condro Sengkolo itu sepertinya tidak bisa dipakai untuk tahun masehi. Jadi harus tahun jawa atau tahun hijriyah. Misalnya saya lahir tahun 1970, maka tahun ini harus dikonversi ke tahun jawa atau hijriyah menjadi tahun 1901 (jawa) atau 1389 (hijriyah), dengan sengkalannya tahun jawanya Bumi Sirna Gapuraning Urip (1901). Ini contoh.
    Matur sembah nuwun,

    Hohok

    Anonymous said...

    Terima kasih atas koreksinya..

    Saya kira tetap bisa menggunakan tahun masehi. Sebab di jawa tahun masehi juga sudah digunakan dalam kehidipan sehari-hari.

    Aji saka dahulu tidak mengenal tahun hijriyah. Tapi setelah kalender Islam digunakan di jawa, sengkalan tahun hijriyah juga sdh mulai digunakan.