anda pengunjung ke

Saturday, February 2, 2013

NO FACEBOOK

Resiko Dan Manfaat Jaringan Sosial Di Tempat Kerja
“Apakah melarang situs jejaring sosial di tempat kerja merupakan ide yang baik? Atau apakah seharusnya perusahaan mengubah sudut pandang mereka?”

Jaringan sosial? Bukankah itu perlu kita cegah? Mengapa kita harus menghadapi resiko dengan sesuatu yang memberikan nilai tambah sangat sedikit, bahkan mungkin menjadi ancaman bagi perusahaan? Apakah argument tersebut terdengar tidak asing lagi?

Jaringan sosial berkembang pesat sebagai salah satu cara utama berkomunikasi. Seiring dengan masuknya generasi baru ke dunia kerja, perusahaan-perusahaan mengalami dilema” mengunci situs jaringan sosial dan berurusan dengan pegawai yang tidak puas, atau memberikan akses yang tidak terbatas dan mengalami kekurangan produktivitas“.

Namun, masalahnya bukan hitam dan putih. Sebagai media komunikasi, mungkin ada manfaat yang bisa diambil dari jaringan sosial untuk mengembangkan hubungan kerja. Perusahaan perlu beradaptasi dan mengembangkan strategi dan kebijakan yang mempertimbangkan resiko dan manfaat. Itulah tujuan kita kali ini, melihat resiko dan manfaat. Memang memberi akses tidak terbatas ke situs jaringan sosial bisa membebani pengeluaran perusahaan, tapi perlu dipertimbangkan bahwa banyak perusahaan yang mendapatkan manfaat dari situs jaringan sosial.
Resiko jaringan sosial di tempat kerja

Mengapa situs jaringan sosial bisa menjadi beban? Berikut adalah beberapa penjelasan yang paling masuk akal dan bisa diterima.
Berkurangnya produktivitas

Berkurangnya produktivitas adalah alasan yang paling umum dilontarkan pihak manajemen untuk memblokir akses ke situs jaringan sosial. Seperti yang pernah diberitakan BBC News, Dewan Kota Portsmounth di Inggris melarang akses Facebook,Twitter dan sejenisnya, setelah menemukan bahwa sejumlah pegawai menghabiskan hampir 400 jam sebulan di Facebook. Ini menunjukan bahwa gaji terbuang, dan membuat wajib pajak marah.

Demi alasan keamanan nasional, Korps Marinir AS juga membuat keputusan yang sama sehubungan dengan Facebook. Dari beberapa pegawai yang diwawancarai Nucleus Reserch, ditemukan bahwa dari 77 persen pegawai yang memiliki account Facebook, 61 persen mengunjunginya selagi ditempat kerja selama rata-rata 15 menit per hari, yang mengakibatkan kurang nya produktivitas 1,47 persen dari seluruh populasi pegawai.

Meskipun kita tidak bisa memastikan apakah kelompok studi ini benar-benar representatif, karena hanya berisi 237 pegawai, fakta menunjukan bahwa orang dapat dengan mudah tergoda oleh jaringan sosial dan membuang banyak waktu kerja. Studi yang dilakukan Nucleus Research juga menemukan bahwa satu dari 33 pegawai membuat profil Facebook mereka ditempat kerja, dan 87 persen mengatakan bahwa pada dasarnya mereka membuka Facebook yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Ironis memang.

Malware, pencurian identitas dan kebocoran data

Situs jaringan sosial bisa menjadi “kendaraan” pengirim malware dan spyware yang diam-diam ditanamkan cybercriminal. Program-program berbahaya ini dapat menyebar keseluruh jaringan internal perusahaan. Dengan menghancurkan atau menonaktifkan sisitem dan data yang dibutuhkan pegawai untuk melakukan pekerjaan mereka, melware dapat memberi dampak yang luar biasa terhadap produktifitas, disamping “membuang-buang waktu” bagian TI.

Malware dan spyware juga dapat membombardir jaringan intenal. Dengan spam, serangan phising, dan mencuri nama user dan password. Selain itu,waktu yang dibutuhkan bagian TI untuk melawan malwere dan serangan spywere bisa sangat mahal.

BURU PENGENDAP DANA SERTIFIKASI

JAKARTA – Para pejabat kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang terlibat menilep bunga tunjangan profesi pendidik (TPP) terancam berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasalnya, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Irjen Kemendikbud) Haryono Umar memastikan hampir seluruh pemkab/pemkot mengendapkan TPP ke rekening pemda. Hanya saja, mantan pimpinan KPK itu mengaku tidak hapal berapa jumlah TPP yang diendapkan masing-masing pemkab/pemkot dimaksud……..

“Yang jelas ada datanya dan hampir semuanya mengendapkan tunjangan guru di rekening mereka,” ujar Haryono Umar kepada JPNN ini di Jakarta, kemarin (2/1).

Dia hanya menyebut angka TPP 2012 yang diendapkan di rekening oleh seluruh pemkab/pemkot se-Indonesia, yang jumlahnya Rp10 triliun. Uang Rp10 triliun itu merupakan bagian dari Rp40 triliun TPP 2012 yang ditransfer ke pemkab/pemkot.

Itjen Kemendikbud segera berkoordinasi dengan KPK untuk menelusuri kemana bunga simpanan TPP sebesar Rp10 triliun itu. Dia menjelaskan, menggandeng KPK tidak semata untuk mengoptimalkan sisi pencegahannya, tapi juga di aspek penindakan.

“Kami akan segera membahasnya dengan KPK untuk upaya pencegahannya. Untuk penindakan juga, terkait masalah bunga simpanannya ke mana,” imbuhnya lagi.

Dijelaskan, TPP yang menjadi hak guru mestinya langsung disalurkan ke guru begitu ditransfer oleh kemenkeu ke rekening kas APBD pemkab/pemkot. Nah, untuk mengakhiri praktek buruk ini, kemendikbud akan mencari formula yang tepat agar ke depan TPP tak lagi ngendon di rekening pemda. Selain dengan KPK, Itjen Kemendikbud juga manggandeng Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kemendagri, dan kemenkeu.

Pasalnya, tunjangan pendidikan yang langsung ditransfer ke daerah jumlahnya terus bertambah. Tahun 2013 ini saja, besarnya mencapai Rp220 triliun. Sebesar Rp128 triliun diantaranya untuk gaji guru di daerah. “Khusus untuk tunjangan guru tahun ini sebesar Rp47 triliun. Jadi, T (triliun, red) semua, tak ada yang M (miliar),” kata Haryono.

Haryono menduga, belum disalurkannya dana Rp10 triliun yang mestinya menjadi hak guru itu, disebabkan lemahnya sistem pengawasan di daerah. Dua pihak yang dia soroti adalah Inspektorat Pengawas Daerah (Irwasda) dan DPRD-nya.

Inspektorat di daerah berdalih kurang dana sehingga tidak mampu melakukan pengawasan secara optimal. “Kalau tak ada bensin ya bagaimana bisa jalan. Itu alasan mereka,” ujar Haryono.

Mestinya, harap dia, DPRD mengalokasikan anggaran yang pantas bagi aparat pengawasan di daerah. “Mestinya DPRD peduli dong, ini masalah pendidikan, menyangkut kualitas bangsa di masa depan,” kata Haryono.
 

TERLAMBAT LAGI

JAKARTA, KOMPAS.com - Mulai tahun 2013 uang tunjangan profesi guru akan langsung disalurkan ke rekening guru, tidak lagi melalui pemerintah kota/kabupaten. Kebijakan ini dilakukan karena penyaluran dana lewat pemerintah kota/kabupaten sering kali dananya terlambat diterima guru.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah sangat serius menyelesaikan persoalan tunjangan profesi guru yang sering kali uangnya terlambat diterima guru.

”Setelah dilakukan evaluasi secara menyeluruh, pemerintah pengambil kebijakan akan menyalurkan langsung dana itu ke tangan guru,” kata Nuh saat evaluasi program pendidikan 2012 dan rencana tahun 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pekan lalu, di Jakarta.

”Kami menyadari ini pekerjaan rumah yang sulit. Kami akan kawal dana itu agar benar-benar sampai di tangan guru,” ujar Nuh.

Dari total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 337 triliun di tahun 2013, pemerintah mengalokasikan Rp 43 triliun untuk tunjangan profesi guru. Besarnya tunjangan profesi guru satu kali gaji pokok guru.

Banyak potongan

Menanggapi hal ini, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo berharap, tahun 2013 pembayaran tunjangan profesi guru akan lebih baik.

Dalam soal tunjangan profesi guru, kata Sulistiyo, masalah yang muncul antara lain banyaknya guru yang belum mendapat tunjangan profesi walau sudah lolos sertifikasi. Kalaupun menerima, dana itu sering terlambat hingga enam bulan. Selain terlambat, uang yang diterima guru tak utuh karena dipotong dinas pendidikan daerah dengan berbagai alasan. Kalaupun tidak dipotong, saat pencairan tunjangan profesi, guru diharuskan membeli berbagai perlengkapan pendidikan seperti laptop yang harganya lebih mahal dibandingkan harga pasar.

Sulistiyo juga menyoroti sulitnya guru swasta serta guru honorer mendapat tunjangan profesi. Saat ini dari sekitar 2,9 juta guru di berbagai jenjang pendidikan, sekitar 1,7 juta berstatus guru pegawai negeri sipil (PNS) dan sekitar 1,2 juta guru non-PNS, baik guru swasta, guru bantu, guru honorer, maupun status lainnya.

Dari rencana program pemerintah tahun depan, ujar Sulistiyo, tidak terlihat adanya rencana mengatasi kekurangan guru SD, tenaga administrasi, perpustakaan, dan laboratorium di sekolah. Persoalan tenaga kependidikan ini tidak pernah disentuh pemerintah pusat. ”Meski menjadi urusan daerah, tetap harus ada solusinya ketika daerah tidak menjalankan kewajibannya,” kata Sulistiyo. (LUK)


Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Caroline Damanik