Merupakan salah satu filusuf dan
politikus terkenal pada zaman renaisance. Karya Niccolò yang paling
terkenal adalah Il Principe dan tidak
dipublikasikan hingga kematiannya, di tahun 1532. Pemikiran Niccolò
meninggalkan kesan beragam bagi pembacanya.
Salah satu sumbangsih pemikirannya dalam sejarah pemikiran dunia adalah
kejujurannya dalam mengungkap realitas secara vulgar. Ia menuliskan narasi dan
analisis keadaan mengenai konteks keadaan dunia yang dia diami pada saat itu. Ide-ide
yang lahir dalam potret bingkai kekuasaan didiskusikannya dengan suatu
peristiwa pencapaian dan mengelola kekuasaan politik. Sumber utama rujukannya
mengenai tokoh yang mampu mencapai dengan ideal digambarkannya pada sosok
Cesare Borgia. Teorinya dianggap menyingkirkan aspek-aspek etika dalam
berpolitik yang menjadi rujukan pada masa itu (khususnya pemikiran Plato dan
Aristoteles). Rujukannya bahkan membuka tabir kekuasaan Gereja Kristen Katolik
pada masanya, membuka dinding istana Vatikan yang dipenuhi intrik politik dalam
mengelola kekuasaan Gereja dan Negara. Dalam catatan Henry C. Schmandt, Saturday
Review, editor mencatat bahwa “politisi hidup dalam dunia setengah
kebenaran, kompleksitas, dan ketidakmurnian bukan karena dia adalah pembohong
atau penipu tetapi karena itulah cara dia menemukan dunia.
Niccolò Machiavelli seringkali disebut sebagai bapak “politik kekuasaan,”
sebutan yang mempunyai arti penting dalam era modern. Kekuasaan adalah bagi
mereka yang mempunyai ketrampilan untuk meraihnya dan kemampuan untuk
mempertahankan kekuasaan. Pengalaman empiris Niccolò membuat dirinya mencatat
bahwa misteri kekuasaan bukanlah persoalan yang spenuhnya bersifat politik dan
demi kepentingan rakyat, alasan nafsu kekuasaan bersumber pada diri nilai-nilai
manusia. Cita-citanya menggantikan feodalisme dinastik pada abad ke-16 dengan
pemerintahan yang bersifat nasional dengan pemimpin tunggal membuat
pemikirannya menjadi kontroversial. Ketika Kristendom berkembang menjadi
negara-negara yang berdiri sendiri dan saling bersaing membuat tradisi
persatuan Italia mulai ditinggalkan. Selama jaman pertengahan tidak terdapat
konsepsi yang jelas dengan kehadiran dua wilayah kekuasaan yang saling tumpang
tindih antara Gereja dan Negara. Charles E. Meriam mencatat empat kendala
selama abad pertengahan: (1) ide tantang dominasi hukum ketuhanan dan hukum
alam tentang hukum positif; (2) konflik Gereja-Negara; (3) gagasan tentang
bentuk pemerintahan gabungan; (4) kondisi feodal negara.
Biografi Niccolò
Machiavelli
Machiavelli lahir tahun 1469 di Florence, Italia. anak kedua dari Bernardo
Machiavelli dan Bartolomea de’ Nerli. (Keluarga) Machiavelli merupakan bagian
dari kelas menengah-ningrat dari Oltrano sebuah distrik di Florence. Ayah
Niccolò yaitu Bernardo merupakan seorang ahli hukum yang berasal dari keluarga
bangsawan. Situasi Italia ketika itu mengalami instabilitas sosio-politis.
Italia terpisah menjadi lima negara utama (Bangsawan Milan, Republik Venesia,
Negara Kepausan, Republik Florence, dan Kerajaan Naples) serta beberapa kota
merdeka atau setengah-merdeka seperti: Genoa, Lucca, Bologna, Ferrara,
dan Siena.
Keluarga
Machiavelli di Florence memang termasuk keluarga ningrat tetapi kehidupan
keluarga Bernardo tidaklah kaya dan berkuasa, bahkan menurut perspektif Niccolò
dia justru hidup dalam ‘kemiskinan’. Di dalam suratnya kepada Fransesco Vettori
pada tanggal 18 Maret 1513, Niccolò menjelaskan perasaannya tentang masa
kecilnya yang lahir dalam kemiskinan, dan pada usia dini harus lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk belajar membaca daripada berkembang seperti anak
sebayanya. Namun demikian ‘kemiskinan’ tidak membuat ayahnya untuk tidak
memberikan pendidikan dasar yang baik kepada Niccolò kecil, seperti: ilmu
hitung (arithmetic), tata bahasa (grammar), retorika (rhetoric),
dan bahasa Latin. Niccolò kecil sangat beruntung mendapatkan pendidikan yang
baik, Beberapa gurunya diantaranya adalah Maestro Matteo dan Paolo da Ronciglione.
Setelah dewasa, Niccolò kemudian melanjutkan pendidikannya ke Studio
Fiorentino sebuah universitas yang dipimpin oleh Cristoforo Landino. Disini
dia mendapatkan pelajaran sejarah dan filosofi moral berdasarkan silabus
humanis.
Pada usia 25
tahun dia menyaksikan terjadinya sebuah peristiwa politik yang mengakibatkan
perubahan kekuasaan di Florence. Pada tahun 1494 terjadi pertempuran antara
Raja Charles VIII dari Perancis melawan keluarga Medici, yang diakhiri dengan
tergulingnya keluarga Medici. Niccolò melihat perubahan kekuasaan di Florence
dengan munculnya sosok pemimpin berkharismatik, seorang rahib Dominikan
yaitu Girolamo Savonarola –yang tentu saja sekaligus adalah lawan politik dari
keluarga Medici.
Niccolò
dalam usianya yang muda (29 tahun) mendapatkan posisi penting di Florence
setelah uskup Piero Soderini mengambil-alih pemerintahan Savonarola. Di
kemudian hari karir politik Niccolò menjadi cemerlang dibawah pemerintahan
uskup Piero Soderini. Uskup Piero Soderini dengan pengaruh politiknya di
kemudian hari mempercayai Niccolò Machiavelli sebagai ‘orangnya’. Karena itu tidak
mengherankan jika dia menjadi Konselor Kedua Republik Florence dan juga
ditunjuk sebagai sekretaris Komisi “Ten of Balia” yaitu komisi tentang
kebebasan dan perdamaian Republik Florence.
Gaji Niccolò
sendiri pada waktu awal karir politiknya berjumlah 128 florins dan berkantor di
lantai dua Palazzo della Signoria. Dalam mengemban jabatan-jabatan tersebut,
Niccolò mempunyai peranan yang sangat penting dalam kancah politik Florence.
Tugasnya membidangi tiga bidang penting, yaitu: kegiatan politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, dan perdagangan luar negeri. Dia dibantu oleh
pembantu-bawahan, seperti: Agostino Vespucci, Andrea di Romolo, dan Biagio
Buonaccorsi, yang menjadi teman setianya di kemudian hari.
Antara tahun 1499 dan 1522 Niccolò Machiavelli mempunyai kesempatan untuk
bertemu para pemimpin penting politik Eropa (termasuk pemimpin Gereja) pada
waktu itu, diantaranya: Raja Perancis: Louis XII; Kaisar Maximillian; Paus
Julius II; dan Bangsawan Valentino (Cesare Borgia). Pertemuan itu sendiri
menyangkut kepentingan misi-diplomatik Republik Florence. Niccolò dengan
peranannya mendapatkan kesempatan memasuki kehidupan politik nyata, dan dapat
berdiplomasi untuk mengarahkan secara pikiran, ambisi, kuasa para pemimpin yang
ditemuinya demi negaranya (Republik Florence). Usia Niccolò Machiavelli baru 43
tahun pada tahun 1512 ketika dia harus melihat keruntuhan pemerintahan
Soderini. Semua prestasi dan kerja keras dalam hidupnya untuk berjasa bagi
Republik Florence menjadi sia-sia ketika dia melihat bahwa pemerintah Florence
yang baru tidak memandang sedikitpun tentang prestasi Niccolò karena
kedekatannya dengan keluarga Soderini. Setelah dipecat, Niccolò merasakan semua
sarana fasilitas terhadap dirinya selama menjadi birokat dicabut, bahkan selang
beberapa saat dia memutuskan untuk mengasingkan diri di kediamannya, desa San’t
Andrea, sebelum akhirnya tetap dipenjarakan oleh keluarga Medici. Pergumulannya tentang ketidakpuasannya terhadap nasib yang dialami dalam
hidupnya membuat dia bersemangat mencari sebuah cara untuk memukau penguasa
baru Republik Florence dengan bakat dan pengalaman pemerintahannya bersama klan
Soderini. Karya Il Principe diselesaikannya di tahun 1513 yang
dipersembahkannya untuk Lorenzo de’Medici (1492-1519).Niccolò Machiavelli
meninggal di Florence,
Italia,
21 Juni
1527 pada umur 58 tahun.
Karya Niccolò Machiavelli
Niccolò
Machiavelli adalah filosof kontroversial asal Italia yang hidup pada jaman renaisan. Ia mengajarkan
cara mempertahankan kekuasaan politik dengan tipu muslihat, kelicikan serta
kekejaman. Akibatya ia banyak mendapat tanggapan beragam dari hujatan hingga
pujian karena keberaniannya menjelaskan keadaan politik secara blak-blakan.
Dikutuk banyak orang selaku filusuf dan politikus yang tak bennoral, dipuja oleh lainnya selaku realis tulen yang berani
memaparkan keadaan dunia apa adanya, Machiavelli salah satu dari sedikit
penulis yang hasil karyanya begitu dekat dengan studi baik filosof maupun
politikus.
Tahun 1512, Republik Florentine dipimpin oleh
seorang penguasa bernama Medici setelah melakukan perebutan kekuasaan.
Machiavelli dilengserkan dari jabatan serta di tahan dengan tuduhan melakukan
makar. Setelah dibebaskan karena di nyatakan tidak bersalah Machiavelli
kemudian hidup dalam perkampungan kecil di San Casciano.
Ia kemudian
banyak menghasilkan karya tulis yang sangat populer. Beberapa karya terkenalnya
antara lain: The Prince (Sang Pangeran), The Discourses upon the first ten
books of Titus Livius , The Art of War, a History of Florence dan La Madrogala. Di antara-karya-karyanya,
The Prince dapat dikatakan karya terbesar yang membahas filsafat politik. Dalam
buku ini ia menguraikan cara-cara mempertahankan kekuasaan yang harus dilakukan
dengan cara curang, licik, mengabaikan moralitas dan menggunakan kekejaman.
Machiavelli menekankan bahwa suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik untuk
mempertahankan kekuasaan. Tentara harus dipilih dari orang-orang yang dapat
dipercaya dalam negara tersebut. Negara yang bergantung pada tentara bayaran atau
tentara dari negara lain adalah lemah dan berbahaya. Seorang Raja
harus mendapatkan dukungan dari rakyatnya, sebab rakyat adalah kekuatan
terbesar dari sebuah Negara. Kekuasaan kadangkala harus di rebut dengan segala
cara sehingga untuk mengamankan kekuasaannya, seorang raja perlu melakukan
segala hal walaupun tidak disukai rakyatnya. Untuk mencapai sukses, seorang
Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia:
Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan
minta pendapat apa yang layak dilakukan. The Prince (Sang Pangeran) dapat
dikatakan sebagai "buku pedoman wajib para diktator."
Dari beragam
tulisannya terlihat bahwa dia cenderung menyenangi bentuk pemerintahan republik
dari pada diktator. Namun ia merasakan kecemasan karena lemahnya politik dan
militer Italia. Machiavelli mendambakan Italia menjadi Negara yang kuat dari
segi politik dan Militer sehingga mampu mengusir para aggressor yang akan
menguasai negerinya. Hal yang menarik adalah meskipun ia menganjurkan cara-cara
kejam., namun Machiavelli adalah seorang idealis dan patriot serta tidak mampu
mempraktekkan. Kehadiran The Prince dalam jagad pemikiran filsafat tak pelak
melahirkan diktaktor-diktaktor besar seperti Benito Mussolini, Napoleon Bonaparte, Hitler
dan Stalin.
Ketika Plato dan St. Augustine, mengaitkan politik
dengan etika dan teologi. Machiavelli memandang dalam perspektif lain bahwa
politik itu bukan soal rakyat harus bertingkah laku; bukannya siapa yang mesti
berkuasa, tetapi bagaimana orang bisa peroleh kekuasaan. Teori politik ini
diperbincangkan sekarang dalam cara yang lebih realisitis daripada sebelumnya
tanpa mengecilkan arti penting pengaruh Machiavelli.
Dalam the
Prince digambarkan cara-cara agar seorang individu dapat memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan negara. Situasi sosial dan politik dalam buku tersebut
dilukiskan dalam kondisi yang sangat tidak dapat diprediksi dan mudah berubah.
Hanya orang hebat dengan pikiran penuh perhitungan yang dapat menaklukkan
kondisi sosial politik tersebut. Penolakan Machiavelli terhadap penghakiman
etis dalam politik mengakibatkan pemikirannya disebut sebagai pemikiran
renaisance yang anti-Christ.
Citra
Machiavelli yang menentang kekuasaan gereja juga terlihat dalam buku the
Discourse yang secara jelas menyatakan bahwa bahwa Kristianitas konvensional
melemahkan manusia dari kekuatan yang diperlukan untuk menjadi masyarakat sipil
yang aktif. Dalam the Prince juga terdapat penghinaan, disamping penghormatan,
terhadap kondisi gereja dan kepausan pada saat itu. Pandangan-pandangan
Machiavelli mengakibatkan beberapa penulis seperti Sullivan (1996) dan Anthony
Parel (1992) berpendapat bahwa Machiavelli adalah penganut agama pagan seperti
masyarakat Romawi kuno.
Untuk
memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata
etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan
menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus
dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang
berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious
people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli
melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan.
Nilai
(virtú), dalam bahasa Machiavelli dipahami sebagai individu yang memiliki
kemampuan untuk mewujudkan keinginannya dalam situasi sosial yang berubah
melalui kehendak yang kuat, kekuatan, serta perhitungan dan strategi yang
brilliant. Bahkan, untuk mendapatkan cinta seorang perempuan (Fortune), seorang
raja yang idela tidak meminta atau memohon, tetapi mengambilnya secara fisik
dan melakukan apapun yang dia mau. Skandal tersebut melambangkan potensi
manusia yang sangat kuat di lapangan politik.
Virtú, dalam
konsepsi Machiavelli adalah kualitas personal yang dibutuhkan oleh seorang raja
untuk mengelola negaranya dan meningkatkan kekuasaannya. Raja harus memiliki
kualitas virtú yang paling tinggi, bahkan jika dibutuhkan untuk dapat bertindak
sangat jahat. Untuk dapat menjadi seseorang yang memiliki kualitas virtú, raja
harus bersifat fleksibel (flexible disposition). Orang yang sesuai untuk
memegang kekuasaan menurut Machiavelli adalah seseorang yang dapat melakukan
berbagai tindakan dari yang baik hingga yang buruk. Oleh karena itu, yang
dimaksud dengan Virtú adalah segala hal yang terkait dengan kekuasaan. Penguasa
Virtú dituntut untuk memiliki kompetensi menjalankan kekuasaan. Memiliki Virtú
berarti memiliki kemampuan atas segala aturan yang terkait dengan menjalankan
kekuasaan secara efektif. Virtú adalah kekuasaan politik.
Konsepsi
lain yang menghubungkan antara Virtú dengan pelaksanaan kekuasaan yang efektif
adalah Fortuna. Fortuna adalah musuh dari tatanan politik, merupakan ancaman
bagi keselamatan dan keamanan negara. Penggunaan konsep fortuna ini menimbulkan
banyak perdebatan. Secara konvensional, fortuna diartikan sebagai keramahan,
sesuatu yang lunak dan tidak berbahaya, tetapi juga sifat ketuhanan yang
berubah-ubah sebagai sumber dari kebaikan sekaligus keburukan manusia.
Sedangkan Machiavelli mengartikan fortuna sebagai kedengkian dan sumber
kesengsaraan manusia yang tidak dapat ditoleransi (uncomprommising fount of
human misery), penderitaan, dan musibah. Jika fortuna menentukan kemajuan yang
dicapai umat manusia, maka tidak ada seorangpun yang dapat bertindak secara
efektif berhadapan dengan ketuhanan.
Dia
menggambarkan fortuna menyerupai “satu dari sungai kita yang merusak, yang pada
saat marah akan mengubah daratan menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan,
mengambil dunia dari satu titik dan meletakkannya pada titik lain; semua orang
melarikan diri sebelum banjir; semua orang marah dan tidak ada yang dapat
menolak” (one of our destructive rivers which, when it is angry, turn the
plains into lakes, throws down the trees and buildings, takes earth from one
spot, puts it in another; everyone flees before the flood; everyone yields to
its fury and nowhere can repel it). Kemarahan dan musibah tersebut tidak
berarti berada di luar kekuasaan manusia. Sebelum hujan tiba, masih mungkin
untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan atau mengubah konsekuensinya.
Gambaran tersebut dikemukanan oleh Machiavelli untuk menyatakan bahwa fortuna
dapat diatasi oleh manusia, namun harus dengan persiapan dengan Virtú dan
kebijakan.
Kesuksesan
politik bergantung kepada apresiasi berjalannya fortuna. Pengalaman Machiavelli
mengajarkan bahwa adalah lebih baik bergerak cepat (impetuous) dari pada
berhati-hati, karena fortuna adalah seorang perempuan dan diperlukan untuk
menempatkannya di bawah kita, mengacaukan dan menganiayanya. Dengan kata lain,
fortuna menuntut respon kekerasan dari mereka yang hendak mengontrolnya.
Jika buku
the Prince banyak menimbulkan perdebatan, maka tidak demikian halnya dengan
buku the Discourses on the Ten Books of Titus Livy yang oleh banyak ahli
dipandang mewakili komitmen dan kepercayaan politik pribadi Machiavelli,
khususnya terhadap republik. Dalam semua karyanya, secara konsisten Machiavelli
membagi tatanan kehidupan sipil dan politik menjadi yang bersifat minimal dan
yang penuh yang memengaruhi pencapaian kehidupan bersama.
Tatanan
konstitusional yang minimal adalah di mana subyek hidup dengan aman (vivere
sicuro), diatur oleh pemerintah yang kuat yang senantiasa mengawasi
perkembangan bangsawan dan rakyatnya, namun diimbangi dengan mekanisme hukum
dan institusional lainnya. Sedangkan tatanan konstitusional yang penuh, tujuan
tatanan politik adalah untuk kebebasan masyarakat (vivere libero) yang
diciptakan secara aktif oleh partisipasi dan interaksi antara kaum bangsawan
dan rakyat.
Selama
kariernya sebagai sekretaris dan diplomat pada Republik Florentine, Machiavelli
mendapatkan pengalaman di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut
pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” [but not free]
polity). Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi
terhadap hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang
pada saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan
yang berkuasa dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas
independen dari parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani
yang tak terkendali dapat dieliminasi.
Bagaimanapun
bagusnya penataan dan kepatuhan hukum dalam rezim yang demikian, menurut
pandangan Machiavelli tidak sesuai dengan vivere libero. Sepanjang terdapat
kehendak publik untuk mendapatkan kebebasannya, raja yang tidak dapat
memenuhinya harus meneliti apa yang dapat membuat mereka menjadi bebas. Dia
menyimpulkan bahwa beberapa individu menginginkan kebebasan hanya untuk dapat
memerintah yang lain. Sebaliknya, sebagian besar mayoritas rakyat mengalami
kebingungan antara kebebasan dan keamanan, membayangkan bahwa keduanya adalah
identik. Namun ada juga yang menginginkan kebebasan untuk tujuan hidup dengan
aman (vivere sicuro).Machiavelli kemudian menyatakan bahwa rakyat hidup dengan
aman (vivere sicuro) tanpa alasan lain dibanding dengan rajanya yang terikat
hukum guna memberikan keamanan bagi seluruh rakyat. Karakter kepatuhan terhadap
hukum dari rezim Perancis adalah untuk memastikan keamanan, namun keamanan
tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan. Inilah
batasan dari aturan dari monarkhi, bahkan untuk kerajaan yang paling baik,
tidak akan dapat menjamin rakyatnya dapat diperintah dengan tenang dan tertib
Keluarga
Machiavelli di Florence memang termasuk keluarga ningrat tetapi kehidupan
keluarga Bernardo tidaklah kaya dan berkuasa, bahkan menurut perspektif Niccolò
dia justru hidup dalam ‘kemiskinan’. Di dalam suratnya kepada Fransesco Vettori
pada tanggal 18 Maret 1513, Niccolò menjelaskan perasaannya tentang masa
kecilnya yang lahir dalam kemiskinan, dan pada usia dini harus lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk belajar membaca daripada berkembang seperti anak
sebayanya. Namun demikian ‘kemiskinan’ tidak membuat ayahnya untuk tidak
memberikan pendidikan dasar yang baik kepada Niccolò kecil, seperti: ilmu
hitung (arithmetic), tata bahasa (grammar), retorika (rhetoric),
dan bahasa Latin. Niccolò kecil sangat beruntung mendapatkan pendidikan yang
baik. Ia
merupakan filusuf, karena Ia
mengajarkan cara mempertahankan kekuasaan politik dengan tipu muslihat,
kelicikan serta kekejaman. Akibatya ia banyak mendapat tanggapan beragam dari hujatan
hingga pujian karena keberaniannya menjelaskan keadaan politik secara
blak-blakan. Dikutuk banyak orang selaku filusuf dan politikus yang tak bennoral, dipuja oleh lainnya selaku realis tulen yang berani
memaparkan keadaan dunia apa adanya. Salalah satu karyanya yang
terkenal adalah The Prince (Sang Pangeran),
The Discourses upon the first ten books of Titus Livius , The Art of War, a
History of Florence dan La Madrogala. Dalam buku ini ia menguraikan cara-cara mempertahankan kekuasaan yang
harus dilakukan dengan cara curang, licik, mengabaikan moralitas dan
menggunakan kekejaman. Machiavelli menekankan bahwa suatu negara mesti
dipersenjatai dengan baik untuk mempertahankan kekuasaan. Tentara harus dipilih
dari orang-orang yang dapat dipercaya dalam negara tersebut. Negara yang
bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negara lain adalah lemah dan
berbahaya. Seorang Raja harus mendapatkan dukungan dari rakyatnya, sebab rakyat adalah
kekuatan terbesar dari sebuah Negara. Kekuasaan kadangkala harus di rebut
dengan segala cara sehingga untuk mengamankan kekuasaannya, seorang raja perlu
melakukan segala hal walaupun tidak disukai rakyatnya. Untuk mencapai sukses,
seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia:
Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan
minta pendapat apa yang layak dilakukan. Il Principe (The Prince (Sang Pangeran)) dapat
dikatakan sebagai "buku pedoman wajib para diktator." Niccolò Machiavelli meninggal di Florence,
Italia,
21 Juni
1527 pada umur 58 tahun.
No comments:
Post a Comment