Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah
seorang pemikir Prancis yang hendak memahami struktur sosial masyarakat,
sekaligus perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalamnya. Baginya,
analisis sosial selalu bertujuan untuk membongkar struktur-struktur dominasi
ekonomi maupun dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi
ketidakadilan di dalamnya. Untuk itu, ia mengembangkan beberapa konsep yang
diperolehnya dari analisis data sosiologis, sekaligus pemikiran-pemikiran
filsafat yang ia pelajari.
Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal
pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis.[1] Ia dikenal
sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile
Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan amat berpengaruh di
dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal,
ia mengajar di lycée di Moulins (1955–58), University of Algiers (1958–60),
University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en Sciences Sociales
(dari 1964), dan Collège de France (1982).
Di Prancis, ia mendirikan Centre for the Sociology of Education and Culture.
Dia sudah menulis beberapa buku, antara lain Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La
Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of
Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility, 1996), and Sur
la télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya berkisar kritik
terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme
intelektual, dan televisi.
Bourdieu juga menjadi editor untuk jurnal Actes de la recherche en sciences
sociales. Pada 1989, ia mendirikan Liber, sebuah review atas karya-karya ilmiah
di Eropa. Pada 2001 lalu, untuk menghormati karya-karyanya, dipublikasikan
sebuah film dokumenter tentangnya. Judul film itu adalah Sociology is a Combat
Sport. Film tersebut disambut dengan baik di Prancis.
Habitus[2]
Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati
atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang
dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang
berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku
yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat,
sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam
serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis.
Saya adalah seorang dosen filsafat politik dan filsafat sains. Sejak kecil,
saya terbiasa membaca buku. Ayah saya bekerja di toko buku, dan sering
membawakan buku komik, novel, koran, serta majalah terbaru untuk saya. Dunia
bacaan adalah dunia yang telah akrab di mata saya, sejak saya kecil.
Sewaktu SMU, saya tinggal di asrama. Di waktu-waktu kosong, karena tidak banyak
hiburan, saya mulai membaca buku yang tebal-tebal. Akhirnya, kegiatan membaca
pun menjadi suatu kebutuhan yang amat penting untuk saya. Saya seolah tidak
bisa hidup, tanpa membaca.
Sewaktu kuliah, saya diminta banyak menulis paper ilmiah. Saya pun mulai
belajar menulis, dan menyukai kegiatan itu. Di sisi lain, saya juga banyak ikut
kelompok diskusi di kampus. Kegiatan itu merangsang saya untuk berani
berpendapat, berargumen, dan mendengarkan pemikiran orang lain.
Dari sudut pandang teori Bourdieu tentang habitus, saya sudah memiliki habitus
yang tepat untuk menjadi seorang pendidik, yakni habitus membaca, menulis, dan
berdiskusi. Habitus yang sama memungkinkan sama saya untuk lulus kuliah dengan
nilai yang lumayan baik, sehingga saya bisa menjadi pendidik nantinya. Habitus
tersebut saya peroleh dari penghayatan nilai-nilai yang ada di lingkungan saya,
yang kemudian mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang saya
hayati sebagai manusia.
Kapital
Kapital adalah modal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan
kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital
intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar
belakang dan jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus
yang tepat dalam hidupnya.
Habitus membaca, menulis, dan berdiskusi akan menghasilkan kapital intelektual
dan kapital budaya. Sementara, sikap rajin bekerja dan banyak jaringan bisnis
akan menghasilkan kapital ekonomi. Kapital bukanlah sesuatu yang mati,
melainkan hidup dan bisa diubah.
Karena memiliki kapital intelektual (pendidikan), orang bisa bekerja sebagai
pendidik, dan memiliki uang (kapital ekonomi) untuk hidup. Kapital intelektual
juga bisa diubah menjadi kapital budaya (jaringan yang banyak), sehingga bisa
memperkaya kapital intelektual itu sendiri. Kapital ekonomi juga bisa diubah, misalnya
dengan investasi, sehingga menghasilkan kapital ekonomi dan kapital budaya yang
lebih besar.
Arena
Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam arena,
seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Jika
orang ingin berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan
kapital yang tepat.
Misalnya di dalam arena pendidikan, jika ingin berhasil, orang perlu memiliki
habitus pendidikan (belajar, menulis, berdiskusi, membaca) dan kapital
intelektual (pendidikan dan penelitian) yang tepat. Jika ia tidak memiliki
habitus dan kapital yang tepat untuk dunia pendidikan, maka ia tidak akan
berhasil di dalam arena pendidikan.
Hal yang sama berlaku di dalam arena bisnis. Jika orang ingin berhasil dalam
bisnis, maka ia harus memiliki habitus yang tepat (ulet bekerja dan hemat)
serta kapital bisnis (uang sebagai modal usaha) maupun kapital budaya (jaringan
kenalan yang luas) yang tepat. Jika orang memiliki habitus dan kapital seorang
pendidik, dan ia terjun ke dalam dunia bisnis, maka kemungkinan besar, ia tak
akan berhasil.
Dengan demikian, konsep habitus, kapital, dan arena terkait amat erat. Untuk
bisa berhasil dalam salah satu arena dalam hidup, orang perlu mempunyai habitus
dan kapital yang tepat untuk arena itu. Jika ia tidak memiliki habitus dan
kapital yang tepat untuk satu arena, maka ia, kemungkinan besar, akan gagal
dalam arena yang telah ia pilih tersebut.
Pendidikan
Bourdieu juga banyak berbicara tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah
suatu proses penciptaan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya.
Pendidikan menutup pintu bagi orang-orang yang tidak memiliki habitus maupun
kapital sebagai seorang pembelajar. Dan orang-orang yang ditolak ini adalah
umumnya kelas ekonomi bawah yang memang tidak memiliki habitus maupun kapital
untuk belajar secara akademik.
Dengan demikian, pendidikan, pada hakekatnya, bersifat diskriminatif. Secara
tidak langsung, pendidikan menindas orang-orang yang memang sejak awal sudah
“kalah”, baik secara ekonomi, maupun secara habitus belajar. Secara mekanis,
nyaris otomatis, pendidikan melestarikan kesenjangan sosial antara si kaya dan
si miskin, antara si “pintar” (memiliki habitus dan kapital intelektual), dan
si “bodoh” (tidak memiliki habitus maupun kapital intelektual).
Pendidikan, dengan demikian, menutupi sekaligus melestarikan ketidakadilan
serta kesenjangan sosial yang telah berlangsung lama di masyarakat. Argumen ini
diperoleh Bourdieu dari analisis terhadap data-data mahasiswa yang memasuki
fakultas-fakultas tenar di Prancis. Jika anda berasal dari keluarga yang cukup
kaya, dan memiliki habitus membaca, menulis, dan berdiskusi sejak kecil, maka
kemungkinan besar (tidak mutlak), anda akan belajar di fakultas-fakultas tenar
di perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama di negara anda.
Tentang pendidikan moral, Bourdieu berpendapat, bahwa yang terpenting bukanlah
apa yang ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan
apa yang tak ternyatakan (implisti), yang hanya dapat dilihat dalam perilaku
sehari-hari. Singkat kata, baginya, dalam konteks pendidikan moral, yang
terpenting adalah teladan, dan bukan perintah moral yang keluar dari mulut.
Maka itu, sarana pengajaran moral yang paling baik bukanlah ajaran moralitas
agama yang penuh dengan pengharusan dan larangan, melainkan melalui sastra. Di
dalam karya sastra, orang secara bebas memilih, tokoh apa yang menjadi
favoritnya. Tokoh tersebut pasti memiliki kualitas kepribadian yang khas,
sehingga orang menyukainya. Ada kebebasan di dalam memilih teladan.
Sementara, dalam ajaran-ajaran agama, yang banyak terdengar adalah keharusan
dan larangan. Di dalam pola semacam itu, tidak ada kebebasan. Yang ada adalah
paksaan, atau dominasi. Dan dimana terdapat dominasi, selalu ada perlawanan.
Itulah sebabnya, mengapa ajaran agama tidak bisa menjadi alat yang efektif
untuk melakukan pendidikan moral.
Pembedaan
Bourdieu juga merumuskan konsep pembedaan (distinction). Secara singkat,
pembedaan berarti tindakan membedakan diri yang dilakukan oleh seseorang untuk
menunjukkan kelasnya dalam masyarakat. Biasanya, pembedaan dilakukan oleh kelas
menengah ekonomi ke atas untuk menunjukkan statusnya yang khas dibandingkan
dengan kelas ekonomi yang lebih rendah.
Contohnya beragam. Misalnya, orang yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke
atas akan menggunakan pakaian ataupun mobil dengan merk yang khusus, yang
harganya jauh lebih tinggi dari apa yang bisa dicapai oleh kelas ekonomi yang
lebih rendah. Proses penempatan diri ini merupakan ciri khas kelas ekonomi
menengah ke atas yang ingin mendapatkan pengakuan dari kelas ekonomi yang lebih
rendah.
Dalam konteks pendidikan, lulusan perguruan tinggi luar negeri biasanya
melakukan pembedaan terhadap lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Mereka
merasa “berbeda”, jika mampu membaca, menulis, ataupun berbicara dalam bahasa
asing, sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka yang lulus dari perguruan tinggi
dalam negerti. Inilah permainan distinction dalam konteks pendidikan.
Kelas ekonomi menengah ke bawah juga melakukan hal yang sama. Namun, bagi
Bourdieu, tindakan tersebut bukanlah merupakan pembedaan, melainkan suatu
bentuk perlawanan. Jadi, jika datang dari atas, pengambilan posisi untuk
mendapatkan pengakuan disebut sebagai distinction. Dan jika datang dari kelas
ekonomi menengah ke bawah, misalnya dengan menggunakan pakaian-pakaian anti
kemapanan, atau justru tertarik membaca buku dalam bahasa-bahasa Sanksekerta
kuno, maka itu disebut sebagai perlawanan (resistance).
Status Bahasa
Bourdieu juga banyak menulis soal bahasa. Baginya, bahasa bukanlah alat
komunikasi yang bersifat netral, tanpa kepentingan. Pandangan semacam itu amat
naif, jika tidak mau dikatakan sebagai picik.
Sebaliknya, bagi Bourdieu, bahasa adalah simbol kekuasaan. Di dalam bahasa
tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada di dalam
masyarakat. Tata bahasa yang digunakan oleh seseorang mencerminkan kelas sosial
ekonominya di masyarakat. Dalam arti ini, sebagai sebuah simbol, bahasa adalah
suatu “teks” yang perlu untuk terus dipahami secara kritis.
Ilmu pengetahuan modern memiliki cita-cita untuk menjadi jalan utama manusia
sampai pada kebenaran. Para ilmuwan modern yakin, bahwa bahasa ilmu pengetahuan
adalah bahasa obyektif yang terbebaskan dari prasangka maupun kekuasaan itu
sendiri. Ilmu pengetahuan adalah jalan netral dan bebas hambatan untuk sampai
pada kebenaran.
Bagi Bourdieu, pandangan semacam ini amatlah picik. Dengan mengira bahwa bahasa
yang ia gunakan adalah netral, maka para ilmuwan secara sadar menyembunyikan
kepentingan-kepentingan dan pengaruh kekuasaan yang terkandung dalam bahasa
itu. Ini berarti mereka melakukan penipuan pada masyarakat. Jika tidak sadar
akan hal ini, maka mereka menjadi boneka dari “kekuasaan simbolik” yang tengah
berlangsung di masyarakat.
Orang yang berasal dari tingkat pendidikan tertentu memilih menggunakan bahasa
yang lebih formal, daripada mereka yang lebih rendah tingkat pendidikannya. Di
masyarakat-masyarakat tertentu, orang yang berasal dari kelas sosial yang lebih
tinggi menggunakan bahasa yang berbeda dengan orang lainnya yang berasal dari
kelas sosial yang lebih rendah.
Dominasi Simbolik
Dominasi simbolik adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol.
Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang
secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan
persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri.
Misalnya, guru yang otoriter di kelas, namun tidak mendapatkan perlawanan
apapun dari muridnya, karena muridnya telah menyetujui “penindasan” yang
dilakukan oleh gurunya. Atau seorang istri yang tidak dapat membela diri,
walaupun telah dirugikan oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar, telah
menerima statusnya sebagai yang tertindas oleh suaminya.
Konsep dominasi simbolik (penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat
dalam konsep sensor panopticon. Sensor panopticon adalah konsep yang menjelaskan
mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang-orang yang dikuasai,
walaupun sang penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan
kontrol kekuasaan secara nyata.
Misalnya, di dalam penjara, ada menara penjaga yang berdiri di tengah berbagai
unit-unit tempat tinggal narapidana. Menara penjaga itu menjadi simbol kontrol
yang bersifat permanen terhadap narapidana, walaupun tidak ada penjaga yang
sungguh menjaga di dalam menara tersebut. Sensor dan kontrol tetap terasa,
walaupun sang penjaga dan penguasa tidak lagi secara nyata melakukan sensor dan
kontrol.
Dalam konteks Indonesia, mekanisme kekuasaan Orde Baru adalah contoh yang
paling jelas. Kekuasaan Suharto pada masa itu (Orde Baru: 1966-1998) terasa
sampai ke berbagai pelosok Indonesia, walaupun ia tidak secara fisik hadir
untuk memastikan kekuasaannya. Bahkan sampai sekarang, ada beberapa kelompok
masyarakat yang mengakui legitimasi kekuasaan Orde Baru, walaupun eranya telah
lama berlalu.
Mekanisme dominasi simbolik nantinya memuncak pada pemikiran Bourdieu tentang
doxa. Secara singkat, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai
pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada
pandangan penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik,
sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara
konseptual, pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan.
Misalnya, banyak penguasa otoriter di dunia ini beranggapan, bahwa pandangan
mereka mewakili pandangan rakyat, maka mereka harus dipatuhi. Biasanya, mereka
menggunakan slogan-slogan populis semacam ini, “Musuh Pemerintah=Musuk
Rakyat!”, “Pemerintah hadir untuk membawa kemakmuran untuk Rakyat!”, dan
beragam slogan-slogan lainnya.
Doxa menunjukkan, bagaimana penguasa bisa meraih, mempertahankan, dan
mengembangkan kekuasaannya dengan mempermainkan simbol yang berhasil memasuki
pikiran yang dikuasai, sehingga mereka kehilangan sikap kritisnya pada
penguasa. Pihak yang dikuasai melihat dirnya sama dengan penguasa. Mereka
ditindas, tetapi tidak pernah merasa sungguh ditindas, karena mereka hidup
dalam doxa.
Doxa juga berlaku di dalam ranah ilmu pengetahuan. Paradigma positivisme
kontemporer (realitas dilihat sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dihitung,
seperti menghitung “uang belanjaan”) dan empirisme dogmatis (terjebak hanya
pada apa yang dapat dilihat oleh panca indera) menjadi pandangan penguasa
(komunitas ilmiah) yang dianggap sebagai pandangan seluruh ilmuwan (yang
dikuasai).
Banyak ilmuwan modern terjebak pada doxa penguasa di bidang penelitiannya.
Mereka menerima begitu saja pandangan penguasa sebagai pandangannya. Mereka
kehilangan sikap kritis. Pada akhirnya, mereka hanya mengabdi pada kepentingan
penguasa, dan kehilangan sentuhan dengan kebutuhan manusia yang nyata di dunia.
Perubahan Sosial dan Kebebasan
Bourdieu juga berbicara soal perubahan sosial. Menurutnya, perubahan sosial
bisa dilakukan, jika orang memiliki habitus, kapital, dan mampu menempatkan
keduanya dalam konteks yang tepat di suatu arena. Prinsip ini berlaku untuk
semua arena, mulai dari arena pendidikan, arena budaya, dan sebagainya.
Misalnya, anda ingin membuat perubahan sosial di dalam arena politik. Hal
pertama yang anda lakukan adalah mendapatkan habitus yang tepat sebagai seorang
politikus (mampu mendapatkan dukungan, mampu memperluas dan mempertahankan
jaringan, mampu bernegosiasi, tingkat pendidikan yang sesuai). Habitus tersebut
akan menghasilkan kapital yang tepat (kapital budaya, kapital intelektual,
kapital ekonomi) yang akan membuat anda memiliki posisi yang bagus untuk
membuat perubahan sosial di arena politik.
Namun, itu semua belum cukup. Anda harus bisa menempatkan diri anda
(positioning) dalam arena politik yang terkait. Jaringan luas dan kepintaran
akademik bisa menjadi bumerang yang menghancurkan karir politik anda, jika anda
tidak bisa menempatkan diri secara tepat pada arena politik yang ada. Kemampuan
menempatkan diri ini misalnya mampu berbicara dengan tema yang tepat, nada yang
tepat, pada orang yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Pada hemat saya, ini
adalah bagian dari kapital intelektual yang amat diperlukan untuk berhasil
membuat perubahan sosial dalam satu arena tertentu.
Perubahan sosial hanya mungkin, jika manusia bukan merupakan “budak” dari
sistem sosial yang mengitarinya. Dengan kata lain, perubahan sosial hanya
mungkin, jika ada kebebasan. Sejauh saya pahami, Bourdieu tidak berbicara
spesifik tentang kebebasan. Namun, kita bisa menafsirkan arti kebebasan yang
tersembunyi di balik tulisan-tulisannya.
Bagi Bourdieu, kebebasan adalah suatu bentuk improvisasi yang menghasilkan
variasi. Artinya, kebebasan adalah perubahan, atau faktor X, yang membuat
seluruh konsep habitus, kapital, arena, dan doxa menjadi relatif; tidak mutlak.
Dalam arti ini, manusia bukan hanya merupakan produk dari sistem-sistem yang
mengitarinya, melainkan mahluk yang mampu membuat improvisasi, dan, dengan
demikian, membuat perubahan sosial.
Sumber : https://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/
No comments:
Post a Comment