DIAKRONIS DAN SINKRONIS DALAM SEJARAH
Sejarah merupakan ilmu diakronis. Diakronis berasal dari bahasa
latin yaitu kata diachronich yang artinya melalui atau melampaui;
dan kata chronicus yang artinya waktu. Dengan
demikian diakronis dapat diartikan memanjang dalam waktu tetapi tetap terbatas
dalam ruang. Sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang peristiwa
dari waktu ke waktu. Sehingga sejarah terdapat istilah periodisasi dan
kronologi yang berhubungan dengan waktu. Pola pikir diakronis berarti peristiwa
sejarah terdapat pada satu tempat dalam kurun waktu tertentu.
Sejarah itu
diakronis maksudnya memanjang dalam waktu sedangkan ilmu sosial itu sinkronis
(menekankan struktur) artinya ilmu sosial meluas dalam ruang. Melalui
pendekatan diakronis sejarah mementingkan proses, sejarah akan membicarakan
satu peristiwa tertentu dengan tempat tertentu
Yang dimaksud
dengan cara pikir sinkronis dalam sejarah adalah memperluas ruang dalam
berpikir, namun secara waktu kita terbatas. Dalam pola pikir sinkronik ini,
peristiwa sejarah yang dipelajari adalah sejaman dan melihat sudut sejarah
dalam ruangan yang sama. Pendekatan sinkronis ini mempelajari aspek pada kurun
waktu yang terbatas dan memiliki sifat horizontal dan tidak memiliki konsep
perbandingan seperti diakronik.
MENGENAL MASA PRA AKSARA
Praaksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti sebelum dan aksara yang berarti tulisan. Dengan demikian zaman praaksara adalah masa
kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip dengan istilah
praaksara, yakni istilah nirleka. Nir berarti tanpa dan leka berarti
tulisan. Jadi
zaman praaksara adalah zaman ketika suatu bangsa belum mengenal tulisan.
Zaman Prasejarah adalah zaman sebelum sejarah.
Pra sejarah berarti "sebelum sejarah," berasal dari bahasa Latin
yaitu “ sebelumnya,“ Pra sejarah adalah rentang waktu
sebelum sejarah. Prasejarah dapat merujuk pada periode keberadaan manusia sebelum munculnya tulisan ditemukan
atau catatan sejarah dimulai.
Zaman prasejarah merupakan proses terbentuknya
bumi, dan munculnya hewan dan tumbuhan di masa itu, pada masa itu manusia
masih belum ada sedangkan zaman praaksara yaitu zaman sebelum manusia mengenal tulisan
jadi pada zaman ini manusia sudah terlahirkan akan tetapi masih belum mengenal
tulisan hanya meninggalkan sebuah fosil atau tulang
Di
Indonesia penelitian tentang jenis-jenis manusia purba sudah sejak abad ke-18
M, dirintis oleh seorang dokter Belanda bernama Eugene Dubois. Mula mula ia
mengadakan penelitian di Sumatera Barat namun tidak membuahkan hasil, lalu ia
pindah ke Pulau Jawa . Di Pulau Jawa, ia berhasil menemukan fosil manusia purba
di desa Trinil, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1891. Fosil manusia
purba ia beri nama pithecanthropus erectus, yang artinya manusia kera yang
berjalan tegak
Penemuan fosil selanjutnya pada tahun 1936 oleh Weidenrich. Ia menemukan fosil tengkorak anak di Lembah
Sungai Brantas, desa Jetis, Mojokerto. Weidenrich menamakan fosilnya Pithecanthropus Robustus. Fosil sejenis juga ditemukan oleh von Koenigswald di Mojokerto,ia menyebutnya Pithecanthropus Mojokertensis.
Pada penelitian dan penggalian arkeologis antara tahun 1936–1941, von Koenigswald berhasil menemukan fosil manusia purba. Diperkirakan fosil manusia purba itu adalah manusia tertua di Indonesia yang hidup satu sampai dua juta tahun yang lalu. Oleh karena itu para ahli arkeologi menamakannya
Meganthropus Palaeojavanicus, artinya manusia raksasa tertua dari Jawa. Meganthropus Palaeojavanicus hidup sezaman dengan Pithecanthropus Mojokertensis, namun tingkat kehidupannya lebih primitif.
Selanjutnya, ditemukan fosil-fosil manusia purba Indonesia, yang tingkat kemampuannya lebih tinggi dibanding jenis Pithecanthropus, yaitu jenis Homo Sapiens (manusia yang berpikir). Jenis manusia homo sapiens yang ditemukan di Indonesia, antara lain.
Penemuan fosil selanjutnya pada tahun 1936 oleh Weidenrich. Ia menemukan fosil tengkorak anak di Lembah
Sungai Brantas, desa Jetis, Mojokerto. Weidenrich menamakan fosilnya Pithecanthropus Robustus. Fosil sejenis juga ditemukan oleh von Koenigswald di Mojokerto,ia menyebutnya Pithecanthropus Mojokertensis.
Pada penelitian dan penggalian arkeologis antara tahun 1936–1941, von Koenigswald berhasil menemukan fosil manusia purba. Diperkirakan fosil manusia purba itu adalah manusia tertua di Indonesia yang hidup satu sampai dua juta tahun yang lalu. Oleh karena itu para ahli arkeologi menamakannya
Meganthropus Palaeojavanicus, artinya manusia raksasa tertua dari Jawa. Meganthropus Palaeojavanicus hidup sezaman dengan Pithecanthropus Mojokertensis, namun tingkat kehidupannya lebih primitif.
Selanjutnya, ditemukan fosil-fosil manusia purba Indonesia, yang tingkat kemampuannya lebih tinggi dibanding jenis Pithecanthropus, yaitu jenis Homo Sapiens (manusia yang berpikir). Jenis manusia homo sapiens yang ditemukan di Indonesia, antara lain.
1. Meganthropus (Manusia Besar)
Meganthropus berasal dari dua kata. Megas artinya besar atau raksasa dan anthropus artinya manusia. Jenis manusia purba Meganthropus ditemukan oleh Van Koenigswald pada tahun 1936 di daerah Sangiran. Hasil penemuannya ini sering dikenal dengan nama Meganthropus Palaeojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia ini memiliki rahang kuat dengan badan yang tegap. Mereka diperkirakan hidup dengan cara mengumpulkan bahan makanan, terutama tumbuh-tumbuhan. Meganthropus diperkirakan hidup sekitar dua sampai satu juta tahun yang lalu sejak penelitian.
Ketika pertama ditemukan, von Koenigswald menyebutnya Meganthropus palaeojavanicus karena memiliki ciri-ciri yang berbeda dari Pithecanthropus erectus (Homo erectus) yang lebih dulu ditemukan di Sangiran. Selanjutnya fosil serupa juga ditemukan oleh Marks tahun 1952 berupa rahang bawah.
Ciri ciri tubuhnya kekar, rahang dan gerahamnya besar, serta tidak berdagu sehingga menyerupai kera. Meganthropus diperkirakan hidup 2 juta sampai 1 juta tahun yang lalu, pada masa Paleolithikum atau Zaman Batu Tua. Meganthropus memiliki kelebihan pada bentuk tubuhnya yang lebih besar dibandingkan manusia purba lainnya.
2. Pithecanthropus (Manusia Kera Berjalan Tegak)
Jenis Jenis Manusia Purba Di Indonesia - Pithecanthropus merupakan jenis yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Hasil penemuan di Indonesia, antara lainPithecanthropus Erectus, Pithecanthropus Mojokertensis, dan Pithecanthropus Soloensis. Pithecanthropus Erectus artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini ditemukan oleh Eugene Dubois tahun 1891 di Trinil. Pithecanthropus Mojokertensis ditemukan di Jetis dekat Mojokerto Jawa Timur oleh Von Koenigswald. Pithecanthropus Soloensis sementara itu ditemukan di Ngandong, lembah Bengawan Solo oleh Von Koenigswald, Ter Haar, dan Oppenoorth. Beberapa ciri manusia Pithecanthropus, antara lain sebagai berikut.
Ciri Ciri Manusia Purba Pithecanthropus :
Meganthropus berasal dari dua kata. Megas artinya besar atau raksasa dan anthropus artinya manusia. Jenis manusia purba Meganthropus ditemukan oleh Van Koenigswald pada tahun 1936 di daerah Sangiran. Hasil penemuannya ini sering dikenal dengan nama Meganthropus Palaeojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia ini memiliki rahang kuat dengan badan yang tegap. Mereka diperkirakan hidup dengan cara mengumpulkan bahan makanan, terutama tumbuh-tumbuhan. Meganthropus diperkirakan hidup sekitar dua sampai satu juta tahun yang lalu sejak penelitian.
Ketika pertama ditemukan, von Koenigswald menyebutnya Meganthropus palaeojavanicus karena memiliki ciri-ciri yang berbeda dari Pithecanthropus erectus (Homo erectus) yang lebih dulu ditemukan di Sangiran. Selanjutnya fosil serupa juga ditemukan oleh Marks tahun 1952 berupa rahang bawah.
Ciri ciri tubuhnya kekar, rahang dan gerahamnya besar, serta tidak berdagu sehingga menyerupai kera. Meganthropus diperkirakan hidup 2 juta sampai 1 juta tahun yang lalu, pada masa Paleolithikum atau Zaman Batu Tua. Meganthropus memiliki kelebihan pada bentuk tubuhnya yang lebih besar dibandingkan manusia purba lainnya.
2. Pithecanthropus (Manusia Kera Berjalan Tegak)
Jenis Jenis Manusia Purba Di Indonesia - Pithecanthropus merupakan jenis yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Hasil penemuan di Indonesia, antara lainPithecanthropus Erectus, Pithecanthropus Mojokertensis, dan Pithecanthropus Soloensis. Pithecanthropus Erectus artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini ditemukan oleh Eugene Dubois tahun 1891 di Trinil. Pithecanthropus Mojokertensis ditemukan di Jetis dekat Mojokerto Jawa Timur oleh Von Koenigswald. Pithecanthropus Soloensis sementara itu ditemukan di Ngandong, lembah Bengawan Solo oleh Von Koenigswald, Ter Haar, dan Oppenoorth. Beberapa ciri manusia Pithecanthropus, antara lain sebagai berikut.
Ciri Ciri Manusia Purba Pithecanthropus :
- Pada tengkorak, tonjolan
keningnya tebal.
- Hidungnya lebar, dengan
tulang pipi yang kuat dan menonjol.
- Tinggi sekitar 165–180 cm.
- Pemakan tumbuhan dan daging
(pemakan segalanya).
- Memiliki rahang bawah yang
kuat.
- Memiliki tulang pipi yang
tebal.
- Tulang belakang menonjol dan
tajam.
- Perawakannya tegap,
mempunyai tempat perlekatan otot tengkuk yang besar dan kuat.
3. Homo Jenis fosil homo yang ditemukan di Indonesia, yaitu Homo Wajakensis dan Homo Soloensis.
Manusi Purba Homo Wajakensis berarti manusia dari Wajak. Eugene Dubois menemukan fosil ini pada tahun 1889 di dekat Wajak, Tulungagung Jawa Timur. Homo Wajakensis diperkirakan menjadi nenek moyang dari ras Australoid yang merupakan penduduk asli Australia.
Manusia Purba Homo Soloensis adalah manusia dari Solo ditemukan di Ngandong, lembah Bengawan Solo antara tahun 1931–1934. Penemunya adalah Ter Haar dan Oppenorth. Kehidupan Homo Soloensis sudah lebih maju dengan berbagai alat untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidup dari berbagai ancaman.
POLA HUNIAN MANUSIA PRA AKSARA
Manusia mengenal tempat tinggal
atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan
meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan
hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat
tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana
yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada
zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
Nomaden adalah pola
hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah atau
menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas
tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan
makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
Sedenter adalah pola
hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah terorganisir dan
berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok tanam
serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada
kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas,
yaitu :
(a) Kedekatan dengan Sumber Air
Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama
manusia. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai
binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan
kesuburan pada tanaman.
(b) Kehidupan di Alam Terbuka
Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk
menghuni sekitar aliran sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon
besar dan juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun.
Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia purba di alam
terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang
tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi
tidak memungkin untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang
dekat dengan sumber air dan bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai
tempat tinggal sementara.
Pola hunian itu dapat dilihat dari
letak geografisnya situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh
yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang
aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan
ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai.
Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu
berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.
Pada umumnya mereka bergerak tidak
terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain, karena binatang
buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok
manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan
danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi
pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah
atau umbinya dapat dimakan
Pada masa berburu dan mengumpulkan
makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada
kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di
daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat
tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu
saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis.
Pada tahun 1928 sampai 1931, Von
Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat Sampung,
Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu
merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil
teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake, batu
penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa. KebudayaanAbris
sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah
Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Mereka yang tinggal di daerah
pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan. Bekas tempat tinggal
mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar sampah
kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.
Di sepanjang pantai Sumatra Timur
antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan atau timbunan sampah
kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken =
dapur ,modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan
penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan jenis kapak genggam yang
disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu, ditemukan juga
berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap ikan.
PERSEBARAN NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA
Mengenai persebaran
penduduk Indonesia terdapat berbagai pendapat mengenai asal-usul nenek moyang
bangsa Indonesia. Beberapa tokoh berpendapat bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia bukan asli berasal dari Indonesia melainkan daerah lain. Namun juga
ada yang berpendapat mengenai asal usul nenek moyang memang berasal asli dari
Indonesia. Brandes dan Kern berpendapat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
berasal dari luar Indonesia. Penelitian dari kedua tokoh tersebut berdasarkan
persamaan bahasa. Brendes menyatakan bahwa ada kesamaan antara bahasa yang
digunakan bangsa Indonesia dengan bahasa yang digunakan oleh penduduk yang
mendiami pulau Formosa (Taiwan).
Sedangkan Kern menyatakan bahwa nenek
moyang bangsa Indonesia berasal dari Campa, Kochin Cina. Kern mendasarkan
pernyataannya tersebut berdasarkan kesamaan bahasa serta persamaan nama
binatang dan nama senjata. Pada sekitar tahun 2000 sampai 2500 SM, orang-orang
dari Yunan dengan menggunakan perahu bercadik meninggalkan wilayah tempat
tinggalnya menuju ke daerah wilayah selatan. Perpindahan penduduk ini
dikarenakan desakan suku lain yang lebih kuat. Von Heine Gildren menyatakan
bahwa penduduk Indonesia berasal dari daratan Asia hal ini didasarkan pada
artefak yang ditinggalkan. Sebagai contoh kapak persegi di Indonesia juga
ditemukan di sekitar sungai Huang Ho dan Irawady.
Pendapat yang
menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Indonesia sendiri
adalah pendapat dari Moh Yamin. Penelitian ini didasarkan pada fosil tertua
ditemukan di Indonesia. selain itu banyak fosil manusia purba yang ditemukan di
Indonesia. pendapat lain yang agak berbeda dikemukakan oleh Majumdar yang
menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari India. Berdasarkan
beberapa teori yang diungkapkan oleh banyak tokoh tersebut disimpulkan awal
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan Cina
selatan.Teori Yunan didukung oleh beberapa ahli antara lain Geldern, Kern,
Foster, Logan, Slamet Muljana dan Asmah Haji Omar. Dan kemungkinan teori ini
akan dapat berganti dikemudian hari tergantung penelitian selanjutnya.
Persebaran nenek moyang
bangsa Indonesia diperkirakan melalui dua gelombang. Gelombang pertama ialah
Melayu Tua (Proto Melayu) sekitar 2000 SM dan gelombang yang kedua yakni Melayu
Muda (Deutro Melayu) sekitar 500 SM. Berbagai ahli sejarah menerka bahwa
kepindahan tersebut disebabkan beberapa hal antara lain: kekurangan bahan
makanan, kerusakan lingkungan di daerah asal, bencana alam, terdesak oleh
pendatang, peperangan dll.
Proto Melayu
Jalur
perpindahan dari Yunan menuju wilayah Indonesia dibagi menjadi dua rute yakni
rute barat dan rute timur. Jalur barat dari Yunan ke Semenanjung Malaysia,
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara kebudayaan yang dibawa
adalah kapak persegi. Sedangkan jalur timur dimulai dari Teluk Tonkin menyusuri
pantai Asia Timur menuju Taiwan, Filipina, Sulawesi, Maluku, Papua sampai
Australia dengan membawa kebudayaan kapak Lonjong. Keturunan bangsa Proto
Melayu misalnya saja suku bangsa Batak, Dayak dan Toraja. Bangsa Proto Melayu
sudah bermukim secara menetap, dengan berternak dan pengolahan tanah secara
sederhana.
Deutro Melayu
Persebaran
Deutro Melayu menempuh jalur barat dengan membawa kebudayaan Dongson dari
Vietnam. Kebudayaan Dongson merupakan bebudayaan yang menghasilkan alat-alat
dari perunggu seperti kapak corong (kapak perunggu), nekara, moko dan perhiasan
dari perunggu. Bangsa Deutro Melayu memilih tinggal di daerah pesisir, muara
dan sungai yang merupakan daerah yang subur. Deutro Melayu sudah bercocok tanam
lebih modern dibangindkan Proto Melayu. Deutro Melayu sudah mengenal irigasi.
Bangsa Indonesia sekarang yang merupakan keturunan dari bangsa Deutro Melayu
adalah suku bangsa jawa, Madura, Menado dan Melayu.
SISTEM KEPERCAYAAN MASNUSIA PRAAKSARA
SISTEM KEPERCAYAAN MASNUSIA PRAAKSARA
Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang. Awal
munculnya kepercayaan animisme ini didasari oleh berbagai pengalaman dari
masyarakat yang bersangkutan. Misalnya pada daerah di sekitar tempat tinggal
terdapat sebuah batu besar.
Masyarakat yang melewati batu besar
tersebut mendengar keganjilan seperti suara minta tolong, memanggil namanya,
dan lain-lain. Namun begitu dilihat mereka tidak menemukan adanya orang atau
apapun. Peristiwa tersebut kemudian terus berkembang hingga masyarakat menjadi
peracaya bahwa batu yang dimaksud mempunyai roh atau jiwa.
Dinamisme adalah suatu kepercayaan dengan
keyakinan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib, misalnya gunung, batu, dan
api. Bahkan benda-benda buatan manusia seperti patung, tombak, jimat dan lain
sebagainya.
Totemisme merupakan keyakinan bahwa binatang
tertentu merupakan nenek moyang suatu masyarakat atau orang tertentu. Binatang
yang dianggap nenek moyang antara masyarakat yang satu dengan lainnya
berbeda-beda. Biasanya binatang nenek moyang tersebut disucikan, tidak boleh
diburu dan dimakan, kecuali untuk upacara tertentu.
Masyarakat praaksara Indonesia –
Kepercayaan animisme dan dinamisme menjadi kepercayaan asli bangsa Indonesia
sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia. Dalam kehidupan keagamaan di
Indonesia, kedua kepercayaan itu sudah berakar kuat. Salah satu aspek yang
dapat dikaitkan dengan kedua kepercayaan tersebut adalah berupa
peninggalan-peninggalan zaman megalitikum.
Menhir atau arca, merupakan lambang dan
tahta persemayaman roh leluhur. Kedua jenis peninggalan itu digunakan sebagai
sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dolmen dan punden berundak berkaitan
dengan aktivitas upacara, karena dolmen digunakan sebagai tempat sesaji,
sedangkan punden berundak digunakan untuk tempat upacara.
Praktik-praktik kepercayaan animisme dan
dinamisme itu juga terlihat dalam penyelenggaraan upacara-upacara yang
berhubungan dengan kematian. Penyelenggaraan upacara kematian dilandasi dengan
kepercayaan bahwa kematian itu pada hakikatnya tidak membawa perubahan dalam
kedudukan, keadaan dan sifat seseorang. Dengan landasan itu, penguburan mayat
selalu disertai dengan bekal-bekal kubur dan arwah mayat yang disesuaikan
dengan kedudukannya ketika masih hidup.
Keyakinan akan adanya dunia
arwah terlihat dari arah penempatan kepala mayat yang diarahkan ke tempat asal
atau tempat bersemayam roh nenek moyang mereka. Tempat yang biasanya diyakini
sebagai tempat roh nenek moyang adalah tempat matahari terbit atau terbenam,
dan tempat-tempat yang tinggi, misalnya di gunung dan bukit.
No comments:
Post a Comment