anda pengunjung ke

Wednesday, December 28, 2016

HISTORIOGRAFI

HISTORIOGRAFI

Historiografi mulai ada dan dikenal oleh manusia pada dasarnya sejak manusia mengenal tulisan atau ketika manusia memasuki zaman sejarah. Ketika manusia mengenal tulisan, pada dasarnya mereka sudah tumbuh kesadaran untuk menulis tentang jati dirinya sebagai manusia dalam keluarga dan hidup berbangsa bernegara.
Fakta-fakta sejarah adalah bagaikan kepingan-kepingan suatu botol yang pecah. Pecahan-pecahan itu berserakan dimana-mana. Oleh sejarawan kepingan-kepingan (fakta) itu dikumpulkan satu persatu lantas kemudian disusun kembali menjadi bentuk aslinya. Dalam penyusunan kepingan (fakta) tersebut, sejarawan tuangkan dalam bentuk tulisan atau cerita yang sering disebut dengan historiografi (penulisan sejarah).
Pada tahap penulisan, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang telah diajukan. Penyajian historiografi meliputi (1) pengantar, (2) hasil penelitian, (3) simpulan. Penulisan sejarah sebagai laporan seringkali disebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi, serialisasi, dan kausalitas.
 Pengertian Historiografi 
Historigrafi terbentuk dari dua akar kata yaitu history dan grafi.  Histori artinya sejarah dan grafi artinya tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem orientedadalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian.
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini diperlukan kemahiran mengarang oleh seorang sejarawan. Ada cara-cara tertentu yang perlu sekali diperhatikan oleh sejarawan dalam menyusun ceritera. Dengan kata lain, penulisan atau penyusunan ceritera sejarah memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk menjaga standart mutu dari ceritera tersebut. Seperti misalnya prinsip serialisasi(cara-cara membuat urutan-urutan peristiwa), yang mana memerlukan prinsip-prinsip seperti kronologi (urutan-urutan wakutnya), prinsip kausasi (hubungan dengan sebab akibat) dan bahkan juga kemampuan imajinasi: kemampuan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian yang masuk akal dengan bantuan pemgalaman, jadi membuat semacam analogi antara peristiwa diwaktu yang lampau dengan yang telah kita saksikan dengan mata kepala sendiri diwaktu sekarang, terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit dicarikan dasar kronologi dan kausasih dalam perhubungannya (G.J. renier,dalam karya IG widya. Ibid: 24-25).

B.     Kelemahan Dari Historiografi
Adapun dalam penyusunan historiografi mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:
1)   Sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu.
2)   Sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah.
3)   Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru.
4)   Sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita.
5)   Ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.
6)   Kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh.
7)   Sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.

C.     Kesubyektifitas Historiografi
Walaupun historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang menggunakan metode sejarah, namun menurut Soedjatmoko dalam bukunya An Introduction to Indonesia Historiography (1968) seperti yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:1), historiografi adalah langkah terberat karena dalam langkah terakhir ini lah pembuktian metode sejarah sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah. Adapun menurut Arthur Marwick dalamThe Nature of History (1971) dalam Poespoprodjo (1987:1), hingga historiografi, langkah-langkah metodologis yang dikerjakan oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki validitas objektivitas ilmu. Tapi, langkah selanjutnya disebut art atau seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas.
Mengapa sejarah tak mungkin objektif? Karena sejarah sudah memakai interpretasi dan seleksi. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksi dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau  harus melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus diolah terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H. Carr dalam bukunyaWhat is History (1970), mengungkapkan fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena kumpulan data sejarah hanya dapat disebut sebagai fakta sejarah apabila diberi arti oleh peneliti. Maka, dalam sebuah penelitian yang memakai metode sejarah, subjektivitas tidak dapat dielakkan.
Poespoprodjo (1987) mengungkapkan subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah adalah ‘halal’ karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Lebih lanjut, Poespoprodjo menyatakan yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme. Ia mengingatkan perlunya memisahkan arti dari subjektivitas yang akan mengarah pada objektivitas dengan subjektivisme. Menurutnya, dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya, namun dipandang sebagai ‘kreasi’, ‘konstruksi’ akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari ketersembunyiannya (Pospoprodjo, 1987:23). Agar lebih mudah dimengerti, subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodisasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual. Hal inilah yang akan membuat seorang peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan argumentasi yang kuat. Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti sejarah melakukan kritik ekstern dan intern terhadap sumber atau pengarang/pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan perbandingan dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan subjektivitas.
Poespoprodjo (1987:39) mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi subjektivitas peneliti sejarah yang akan membantu menuju objektivitas yakni :
1.      Peranan Human Richness
Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap segala koreksi (Poespoprodjo, 1987:40).
Seorang sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan beribu fakta, a matter of indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya (Pospoprodjo, 1987:41).
Jika seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh  Jaques Maritain bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh indicidu peneliti sejarah atau sejarawan.
2.      Titik Berdiri
Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat titik berdiri yang berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi terhadap objek sesuai dengan apa yang ia lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini, masing-masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan ada yang salah dan yang benar. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.
Hubungan ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata interpretasi bukan kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai objektivitas. Menurut Gordon Leff dalam History and Social Theory (1969:126) yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:48), interpretasi yang dapat diterima dan memenuhi obejktivitas harus memenuhi tiga syarat.
3.      Mengenal Sumber Distorsi
Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.
Dengan mengenal diri sendiri, maka niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas merupakan simpang jalan dunia subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama. Jika kita tatap lebih lanjut, maka kita kana memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya dan sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong, memutarbalikkan kenyataan yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya), penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila menggunakan metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek yang dapat direproduksi sewaktu-waktu, dan sebagainya) (Poespoprodjo, 1987:56).

D.    Jenis-jenis Historiografi
1.   Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah karya tulis sejarah yang dibuat oleh para pujangga dari suatu kerajaan, baik itu kerajaan yang bernafaskan Hindu/Budha maupun kerajaan/kesultanan yang bernafaskan Islam tempo dulu yang pernah berdiri di Nusantara Indonesia. Seperti kita ketahui di Nusantara Indonesia, bahwa sejak awal bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, diiringi pula dengan berdirinya kerajaan-kerajaan terutama yang dominan dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha.
Ø  Ciri-Ciri Historiografi Tradisional
1.      Regio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluargaraja (keluarga istana).
2.      Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya dan tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segisosial dan ekonomi dari kehidupan rakyat.
3.      Regio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4.      Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
5.      Bersifat regio-sentris/etnosentrisme (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut.
6.      Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma.
7.      Sebagai ekspedisi budaya maksudnya sebagaisarana legitimasi tentang jati dirinya dan asal-usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianut.
8.      Oral tradition Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin keutuhan redaksionalnya.
9.      Anakronistik Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan-kesalahan, pernyataan waktu dengan fakta sejarah termasuk di dalamnyapenggunaan kosa kata penggunaan kata nama dll. Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha penulisan sejarahnyacontohnya seperti Kitab Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan pada masakerajaan-kerajaan Islam sudah dihasilkan karya sendiri, bahkan sudahmenerapkan sistem kronologi dalam penjelasan peristiwa sejarahnya.
Ø  Tujuan dari Historiografi Tradisional adalah:
1.      Untuk menunjukkan kesinambungan yang kronologis
2.      Untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan pusat
3.      Untuk membuat simbol identitas baruUntuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja.

2. Historiografi Kolonial
Historiografi Kolonial sering di sebut sebagai Eropa Sentris, yang berasal darikarya-karya yang ditulis orang-orang Belanda.
Ø  Ciri-ciri Historiografi Kolonial
1.      Penulisan sejarahnya biasanya berisi tentang kisah perjalanan atau petualangan untuk menemukan daerah-daerah baru untuk dijadikan kolonialnya (jajahannya).
2.      Tulisan mereka lebih merupakan sarana propaganda untuk kepentingan mereka (Belanda) dan sekaligus untuk mengendurkasemangat perlawanan bangsa Indonesia.
3.      Bersifat Belanda Sentris, kepentingan kolonial sangat mewarnaiinpretasi mereka terhadap suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Tujuan Historiografi kolonial adalah semata-mata untuk memperkokoh kekuasaan Belanda di Indonesia.
 3. Historiografi Nasional
Historiografi Nasional penulisan setelah Indonesia merdeka,bangsa Indonesia berusaha untuk menulis sejarah nasionalnya sendiri.
Ø  Ciri-ciri Historiografi Nasional
1.      Memanfaatkan semua sumber sejarah baik yang bersal dari penulisan sejarah tradisional (karya bangsa Indonesia) maupun sumber-sumber yang berasal dari pemerintah kolonial untuk melakukan rekontruksi ulang menjadi sejarah nasional yang berorientasi kepada kepentingan nasional.
2.      Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek dengan menggunakan pendekatan multidemensional, baik aspek ekonomi,politik, ideologi, sosial budaya, sistem kepercayaan.
3.      Lebih mengutamakan kepentingan nasional Indonesia atau bersifat Indonesia-sentris. 
Ø  Tujuan Historiografi Nasional
1.      Untuk memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesiasebagai bangsa yang merdeka.
2.      Untuk menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
3.      Untuk memberikan pendidikan nasionalisme kepada generasi muda sebagai warga negara dan sebagai penerus bangsa.

E.     Fungsi Historiografi
1.      Fungsi Genetis
fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini terlihat pada sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.
2.      Fungsi Didaktis
Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah banyak memuatpelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.
3.      Fungsi Pragmatis
fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan berwibawa.

F.      Tujuan Historiografi
1.      Sekedar kenangan pribadi untuk keluarga.
2.      Koreksi atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.
3.      Kisah kepahlawanan.
4.      Sebagai apologi atau kepentingan pendidikan.

G.    Prinsip-Prinsip Historiografi
1.      Kejadian diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.
2.      Ada penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat)
3.      Perlu adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.
4.      Perlu adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.
5.      Memerlukan episode-episode tertentu.
6.      Bila bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.

7.      Bersifat deskriptif analitis.

No comments: