HISTORIOGRAFI
Historiografi mulai ada dan dikenal oleh
manusia pada dasarnya sejak manusia mengenal tulisan atau ketika manusia
memasuki zaman sejarah. Ketika manusia mengenal tulisan, pada dasarnya mereka
sudah tumbuh kesadaran untuk menulis tentang jati dirinya sebagai manusia dalam
keluarga dan hidup berbangsa bernegara.
Fakta-fakta sejarah adalah bagaikan
kepingan-kepingan suatu botol yang pecah. Pecahan-pecahan itu berserakan
dimana-mana. Oleh sejarawan kepingan-kepingan (fakta) itu dikumpulkan satu
persatu lantas kemudian disusun kembali menjadi bentuk aslinya. Dalam penyusunan
kepingan (fakta) tersebut, sejarawan tuangkan dalam bentuk tulisan atau cerita
yang sering disebut dengan historiografi (penulisan sejarah).
Pada tahap penulisan, peneliti
menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah
yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang
telah diajukan. Penyajian historiografi meliputi (1) pengantar, (2) hasil
penelitian, (3) simpulan. Penulisan sejarah sebagai laporan seringkali disebut
karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi,
serialisasi, dan kausalitas.
Pengertian Historiografi
Historigrafi terbentuk dari dua akar
kata yaitu history dan grafi. Histori
artinya sejarah dan grafi artinya tulisan. Jadi historiografi artinya adalah
tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun
yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem
oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada
pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya
menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no
problem orientedadalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi
kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan
metode penelitian.
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam
penyusunan sejarah. Disini diperlukan kemahiran mengarang oleh seorang
sejarawan. Ada cara-cara tertentu yang perlu sekali diperhatikan oleh sejarawan
dalam menyusun ceritera. Dengan kata lain, penulisan atau penyusunan ceritera
sejarah memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk menjaga standart mutu
dari ceritera tersebut. Seperti misalnya prinsip serialisasi(cara-cara membuat
urutan-urutan peristiwa), yang mana memerlukan prinsip-prinsip seperti
kronologi (urutan-urutan wakutnya), prinsip kausasi (hubungan
dengan sebab akibat) dan bahkan juga kemampuan imajinasi: kemampuan untuk
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian
yang masuk akal dengan bantuan pemgalaman, jadi membuat semacam analogi antara
peristiwa diwaktu yang lampau dengan yang telah kita saksikan dengan mata
kepala sendiri diwaktu sekarang, terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit
dicarikan dasar kronologi dan kausasih dalam perhubungannya (G.J. renier,dalam
karya IG widya. Ibid: 24-25).
B. Kelemahan
Dari Historiografi
Adapun dalam penyusunan historiografi
mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh kelemahan dalam penulisan
sejarah (historiografi) yaitu:
1) Sikap pemihakan
sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu.
2) Sejarawan terlalu
percaya kepada penukil berita sejarah.
3) Sejarawan gagal
menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan
atas dasar persangkaan keliru.
4) Sejarawan memberikan
asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita.
5) Ketidaktahuan
sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.
6) Kecenderungan
sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh.
7) Sejarawan tidak
mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.
C. Kesubyektifitas
Historiografi
Walaupun historiografi adalah langkah
terakhir dalam sebuah penelitian yang menggunakan metode sejarah, namun menurut
Soedjatmoko dalam bukunya An Introduction to Indonesia Historiography
(1968) seperti yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:1), historiografi adalah
langkah terberat karena dalam langkah terakhir ini lah pembuktian metode
sejarah sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah. Adapun menurut Arthur Marwick
dalamThe Nature of History (1971) dalam Poespoprodjo (1987:1),
hingga historiografi, langkah-langkah metodologis yang dikerjakan oleh
sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki validitas
objektivitas ilmu. Tapi, langkah selanjutnya disebut art atau
seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah
sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas.
Mengapa sejarah tak mungkin objektif?
Karena sejarah sudah memakai interpretasi dan seleksi. Interpretasi dapat
berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksi dilakukan dalam memilih
fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode
sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau harus melibatkan pendirian
pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus
diolah terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal
ini E.H. Carr dalam bukunyaWhat is History (1970), mengungkapkan
fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena kumpulan data sejarah hanya
dapat disebut sebagai fakta sejarah apabila diberi arti oleh peneliti. Maka,
dalam sebuah penelitian yang memakai metode sejarah, subjektivitas tidak dapat
dielakkan.
Poespoprodjo (1987) mengungkapkan
subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah adalah ‘halal’ karena tanpa
subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Lebih lanjut, Poespoprodjo
menyatakan yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah
adalah adanya unsur subjektivisme. Ia mengingatkan perlunya memisahkan arti
dari subjektivitas yang akan mengarah pada objektivitas dengan subjektivisme.
Menurutnya, dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya,
namun dipandang sebagai ‘kreasi’, ‘konstruksi’ akal budi. Berpikir disamakan
dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari ketersembunyiannya
(Pospoprodjo, 1987:23). Agar lebih mudah dimengerti, subjektivisme adalah
kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun
periodisasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan
kejujuran hati dan kejujuran intelektual. Hal inilah yang akan membuat seorang
peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan
argumentasi yang kuat. Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti
sejarah melakukan kritik ekstern dan intern terhadap sumber atau
pengarang/pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan
perbandingan dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai
teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan subjektivitas.
Poespoprodjo (1987:39) mengungkapkan ada
tiga hal yang dapat mempengaruhi subjektivitas peneliti sejarah yang akan
membantu menuju objektivitas yakni :
1. Peranan Human
Richness
Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat
bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan atau peneliti sejarah
tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat bahwa seorang peneliti
sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat, terbuka
terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap segala koreksi (Poespoprodjo,
1987:40).
Seorang sejarawan atau peneliti sejarah
dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan beribu fakta, a matter of
indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat menangkapnya
dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami permasalahan,
masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai nilai-nilai
moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya
(Pospoprodjo, 1987:41).
Jika seorang peneliti sejarah tidak peka
terhadap beragam hal yang berasal dari beragam bidang dan sektor kehidupan,
maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah
tersebut sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan sulit dicapai. Maka,
benarlah apa yang dikatakan oleh Jaques Maritain bahwa semuanya berpulang
pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh indicidu peneliti sejarah atau
sejarawan.
2. Titik
Berdiri
Cara seseorang untuk memandang sebuah
objek akan berbeda satu sama lain akibat titik berdiri yang berbeda.
Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi terhadap objek sesuai dengan
apa yang ia lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini, masing-masing
persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan ada yang salah dan yang benar.
Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa
mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri
kita sendiri yang tahu tentang argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap
seperti itu dalam titik bediri tertentu.
Hubungan ilustrasi di atas dengan
kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata interpretasi bukan kegiatan yang
dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan kecermatan subjek dalam
melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai objektivitas.
Menurut Gordon Leff dalam History and Social Theory (1969:126)
yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:48), interpretasi yang dapat diterima dan
memenuhi obejktivitas harus memenuhi tiga syarat.
3. Mengenal
Sumber Distorsi
Seorang peneliti sejarah atau sejarawan
seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas
dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui
dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.
Dengan mengenal diri sendiri, maka
niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas merupakan simpang jalan dunia
subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama. Jika kita tatap lebih
lanjut, maka kita kana memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman
kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak
diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya dan
sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong,
memutarbalikkan kenyataan yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah
reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya), penyesuaian pada tuntutan-tuntutan
objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila menggunakan
metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek
yang dapat direproduksi sewaktu-waktu, dan sebagainya) (Poespoprodjo, 1987:56).
D. Jenis-jenis
Historiografi
1. Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah karya
tulis sejarah yang dibuat oleh para pujangga dari suatu kerajaan, baik itu
kerajaan yang bernafaskan Hindu/Budha maupun kerajaan/kesultanan yang
bernafaskan Islam tempo dulu yang pernah berdiri di Nusantara Indonesia.
Seperti kita ketahui di Nusantara Indonesia, bahwa sejak awal bangsa Indonesia
memasuki zaman sejarah, diiringi pula dengan berdirinya kerajaan-kerajaan
terutama yang dominan dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha.
Ø Ciri-Ciri Historiografi
Tradisional
1. Regio
sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada
raja atau keluargaraja (keluarga istana).
2. Bersifat
feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum
bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya dan tidak memuat riwayat
kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segisosial dan ekonomi dari kehidupan
rakyat.
3. Regio
magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4. Tidak
begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
5. Bersifat
regio-sentris/etnosentrisme (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak
dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di
daerah tersebut.
6. Raja
atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma.
7. Sebagai
ekspedisi budaya maksudnya sebagaisarana legitimasi tentang jati dirinya dan
asal-usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai
budaya yang dianut.
8. Oral
tradition Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin
keutuhan redaksionalnya.
9. Anakronistik
Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan-kesalahan, pernyataan waktu
dengan fakta sejarah termasuk di dalamnyapenggunaan kosa kata penggunaan kata
nama dll. Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha penulisan sejarahnyacontohnya
seperti Kitab Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan pada masakerajaan-kerajaan
Islam sudah dihasilkan karya
sendiri, bahkan sudahmenerapkan sistem kronologi dalam penjelasan peristiwa
sejarahnya.
Ø Tujuan dari Historiografi
Tradisional adalah:
1. Untuk
menunjukkan kesinambungan yang kronologis
2. Untuk
meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan pusat
3. Untuk
membuat simbol identitas baruUntuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja,
dan nama raja, serta wibawa raja.
2. Historiografi Kolonial
Historiografi Kolonial sering di sebut
sebagai Eropa Sentris, yang berasal darikarya-karya yang ditulis orang-orang
Belanda.
Ø Ciri-ciri Historiografi
Kolonial
1. Penulisan
sejarahnya biasanya berisi tentang kisah perjalanan atau petualangan untuk
menemukan daerah-daerah baru untuk dijadikan kolonialnya (jajahannya).
2. Tulisan
mereka lebih merupakan sarana propaganda untuk kepentingan mereka (Belanda) dan
sekaligus untuk mengendurkasemangat perlawanan bangsa Indonesia.
3. Bersifat
Belanda Sentris, kepentingan kolonial sangat mewarnaiinpretasi mereka terhadap
suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Tujuan Historiografi kolonial adalah
semata-mata untuk memperkokoh kekuasaan Belanda di Indonesia.
3. Historiografi Nasional
Historiografi Nasional penulisan setelah
Indonesia merdeka,bangsa Indonesia berusaha untuk menulis sejarah nasionalnya
sendiri.
Ø Ciri-ciri Historiografi
Nasional
1. Memanfaatkan
semua sumber sejarah baik yang bersal dari penulisan sejarah tradisional (karya
bangsa Indonesia) maupun sumber-sumber yang berasal dari pemerintah kolonial
untuk melakukan rekontruksi ulang menjadi sejarah nasional yang berorientasi
kepada kepentingan nasional.
2. Objek
penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek dengan menggunakan
pendekatan multidemensional, baik aspek ekonomi,politik, ideologi, sosial
budaya, sistem kepercayaan.
3. Lebih mengutamakan kepentingan nasional Indonesia
atau bersifat Indonesia-sentris.
Ø Tujuan Historiografi
Nasional
1. Untuk
memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesiasebagai bangsa yang
merdeka.
2. Untuk
menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa-bangsa
lain di dunia.
3. Untuk
memberikan pendidikan nasionalisme kepada generasi muda sebagai warga negara
dan sebagai penerus bangsa.
E. Fungsi
Historiografi
1. Fungsi
Genetis
fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah
peristiwa. Fungsi ini terlihat pada sejumlah penulisan sejarah seperti
Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.
2. Fungsi
Didaktis
Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya
dalam karya-karya sejarah banyak memuatpelajaran, hikmah dan suri teladan yang
penting bagi para pembacanya.
3. Fungsi
Pragmatis
fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar
terlihat kuat dan berwibawa.
F. Tujuan
Historiografi
1. Sekedar
kenangan pribadi untuk keluarga.
2. Koreksi
atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.
3. Kisah
kepahlawanan.
4. Sebagai
apologi atau kepentingan pendidikan.
G. Prinsip-Prinsip
Historiografi
1. Kejadian
diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.
2. Ada
penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat)
3. Perlu
adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.
4. Perlu
adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.
5. Memerlukan
episode-episode tertentu.
6. Bila
bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.
7. Bersifat
deskriptif analitis.
No comments:
Post a Comment